Mungkinkah otak manusia juga mirip-mirip komputer?

Ada sirkuit kabel seperti saraf dan otot yang menhubungkan satu pos ke pos lain.

Nah benar kan? Inilah struktur lalu lintas pesan dan memori, berarti otak kita itu tersusun secara sistematis dan solid, lho!

Lha server yang ini kalau di manusia itu bentuknya justru lucu, empuk, imut dan mumpur seperti bubur...

Wah wah ternyata di komputer harus butuh tempat dan ukuran yang super besar, lha kalau di kepala orang kok cukup simpel dan tidak heboh macam ini, ya?

Monday, June 15, 2015

Tiga Buku Baru Format Digital



Tiga Buku Baru Format Digital dapat diakses dengan meng-KLIK link berikut:




 
Tapi bagi Anda yang ingin format BUKU CETAK atau Print, dapat klik link berikut:




Tuesday, May 15, 2012

Humor-humor Tokoh Indonesia

PENYANYI dangdut, Evie Tamala, beberapa waktu lalu pernah terang-terangan mengaku mengagumi Amien Rais karena tiga alasan; pertama, Amien itu orangnya lucu; kedua, pinter dan ketiga karena berani. Mengapa kata lucu harus diletakkan pada pilihan pertama? Benarkah Amien lucu? Anda dapat mengukur fakta itu sesuai kepekaan rasa humor masing-masing. Di televisi, seminar atau dalam percakapan sehari-hari, mudah dijumpai Amien sangat suka menggunakan idiom plesetan; tak peduli itu bahasa asing maupun bahasa daerah (Jawa); sehingga nuansa pembicaraannya terkesan lebih segar, basah dan akrab.
Bagaimana dengan Gus Dur? Tokoh yang memiliki wawasan humaniora seabreg ini tak perlu diragukan lagi selera humornya. Jauh sebelum ia dikenal sebagai tokoh yang banyak mengeluarkan “konspirasi teka-teki” lewat lemparan singkatan nama orang yang “dimungkinkan” terlibat dengan berbagai peristiwa mencekam, Gus Dur telah sangat dikenal sebagai individu yang sangat doyan lelucon dan mempunyai simpanan joke luar biasa banyaknya. Jadi, sangat tidak bijaksana mengulas hubungan humor dan Gus Dur atau sebaliknya. Hanya menggarami air laut yang sudah asin.
Tetapi, mengapa Megawati Soekarnoputri terkesan sendu dan serius? Apakah Mega tak suka humor? Tunggu dulu. Antara Juli-Agustus 1999 sebenarnya ada niat dari sebuah pihak yang ingin menerbitkan buku “Megawati dalam Karikatur”; berisi aneka karikatur Mega atau PDI atau PDI Perjuangan yang telah termuat di berbagai media massa sejak 1994 hingga ke situasi paling akhir. Ini dimaksudkan agar memperoleh refleksi obyektif dari perjalanan Mega sebagai figur maupun bagian penting dari sebuah lembaga politik yang bernama PDI Perjuangan. Konon, Mega sudah sangat menyukai rencana itu walaupun banyak juga gambar yang agak meledek sikap diamnya; entah kenapa tiba-tiba rencana penerbitan itu tertunda dan tak terdengar lagi kabarnya sampai sekarang. Ada kabar yang mengatakan buku itu tetap diterbitkan walaupun dengan cetak terbatas, karena ternyata masih banyak kesalahan dan belum diloloskan oleh tim editor. Menurut orang-orang dekatnya, tidak benar kalau Megawati tak suka humor. Persoalannya karena dia wanita; sesuka apa pun pada lelucon, tentu tidak dia ekspresikan dalam bentuk tawa cekakak-cekikik yang kurang estetik dilihat dari sudut etik. Begitu katanya.
Bagaimana dengan Akbar Tandjung? Anda semua pasti juga sudah sangat paham. Dia bukan orang yang colorful atau orang yang suka guyon, ujar seorang rekan saya. Akbar itu orangnya lempeng-lempeng saja. Kalau mau ke kantor, ya ke kantor; tidak muter-muter atau mampir-mampir; apa adanya dan sedikit kurang romantis. Itu kata rekan saya. Lihat saja ketika ia menghadapi sergapan pertanyaan wartawan; jarang, bahkan hampir tak pernah dia berdiplomasi dengan joke atau lelucon yang berselera cerdas. Dan tipe seperti Akbar Tandjung itu banyak. Tak terkecuali Marzuki Darusman. Beda dengan Marzuki Usman yang mantan Menparsenibud itu. Dia biangnya. Senang berlelucon. Sekali Anda sentil saraf humornya, maka kran lucunya langsung terbuka dan akan mengucur banyak lelucon segar. Memang begitulah; walaupun sama-sama hidup di bawah pohon beringin, yang satu sangat serius, yang lain sangat moderat, yang lain lagi asal happy. Jadi apa pun mereka, selama itu masih be theirselves dan bisa menikmatinya, terserah mereka aja. It’s none of my business, he-he-he.
Nah, bagaimana kesan Anda waktu mengenang sosok yang sangat heboh ini, BJ Habibie? Mungkin sekali kita sependapat, bahwa dia masih memiliki jiwa moderat, jiwa yang lapang dalam merespon kritik. Termasuk reaksinya terhadap karikatur atau lelucon yang menjadikan dirinya sebagai obyek, nyaris oke-oke saja. Sudah ratusan, bahkan ribuan gambarnya dibuat karikatur oleh koran dan majalah; sejauh ini belum sekalipun dia komplain, marah-marah atau menuntut pada media untuk meminta maaf. Begitu juga ratusan lelucon (joke) yang sengaja atau tidak sengaja beredar di sekeliling atau di luar dirinya. Habibie cuma bilang, “It’s OK. Demokrasi.” Persis seperti cara dia merespon serangan “Huuuuu!” yang dilakukan beberapa anggota MPR di awal-awal sidangnya beberapa waktu lalu. Apakah jiwa besarnya itu sungguh-sungguh atau hanya lip service? Anda bisa menilai sendiri, kan? Apa pula komentar Anda setelah menyimak lelucon berikut ini. Tentang beliau.
Usai dilantik menjadi Presiden Indonesia pada Maret 1998, Soeharto masih memerlukan satu kali lagi test akhir untuk menguji calon Wakil Presiden yang bakal mendampinginya. Pilihan saat itu yang diajukan Golkar ada tiga: Habibie, Harmoko dan Try Soetrisno. Karena masing-masing punya kelebihan yang mencolok, Soeharto menjadi agak bimbang. Tapi dia tak kehilangan akal. Test akhir yang bakal diajukan untuk mereka pasti manjur dan sanggup menentukan pilihan yang sangat cocok buat posisi itu.
Kepada Harmoko ia bertanya, “Mok, berapa 3 kali 3?”
Karena Harmoko dikenal selalu ingin menyenangkan Pak Harto dalam berbagai situasi dan kondisi, maka dia menjawab spontan, “Terserah Bapak sajalah maunya berapa. Saya sih, ikut saja.” Rupanya jawaban ini tidak memuaskan Soeharto. Dia khawatir pada orang yang suka ABS, suatu saat buntutnya pasti tidak enak. Harmoko dianggap gagal.
Kepada Try Soetrisno ia bertanya hal serupa. Try Soetrisno yang selama ini dikenal jujur dan apa adanya, juga menjawab sesuai hati nuraninya, “Ya, sembilan, Pak.” Soeharto tetap belum puas. Orang yang terlalu jujur dan lugu bisa membahayakan dirinya yang penuh dengan misteri dan rahasia. Try Soetrisno dianggap gagal.
Kepada Habibie, ia juga bertanya tentang hal yang sama. Habibie tampak termenung agak lama menerima pertanyaan itu. Tetapi bagaimanapun Habibie itu, ia seorang profesor lulusan perguruan tinggi top di Jerman dan orang Jerman mengakui kejeniusannya. Setelah menemukan jawaban, mata Habibie yang bundar itu tampak membeliak lebar dan ia pun berteriak, “Eurekaaa! Aku berhasil!” Soeharto tersenyum-senyum menyaksikan itu; ia memang sudah menduga dirinya pasti tidak salah memilih orang.
“Berapa Bie, persisnya?” tanya Soeharto tak sabar.
“Sudahlah, 3 buat saya, 6 buat Bapak, dah!”
Habibie dinyatakan berhasil dan layak menjadi Wakil Presiden Indonesia mendampingi Presiden Soeharto.
Ini lelucon yang muncul sesudah Pak Harto lengser. Suatu hari, beberapa minggu setelah BJ Habibie dilantik menjadi Presiden menggantikan Pak Harto, BPPT punya hajat. Pada saat itu, Habibie dan hampir seluruh anggota kabinet hadir. MC pun mulai memimpin acara. Setelah acara rutin beres, MC berkata, “Acara berikutnya adalah sambutan dari Bapak Menristek. Waktu dan tempat kami persilakan.” Tiba-tiba BJ Habibie berdiri dari duduknya dan berjalan menuju mimbar. Tentu saja sang ajudan kalang kabut. Buru-buru ia mengejar Habibie, lalu berbisik, “Mohon maaf, Pak. Bapak sekarang sudah Presiden. Bukan Menristek lagi.” Sesaat Habibie terbengong. “Oh ya?” Habibie geleng-geleng kepala, lalu senyum-senyum sendiri dan kembali ke tempat duduknya semula. Dasar profesor.
Ini joke lain lagi. Pimpinan rumah tangga Istana Kepresidenan membuat peraturan kepada seluruh staf, agar setelah Presiden Habibie pulang, meja kerjanya harus dibersihkan segera. Tak boleh sesobek kertas pun tertinggal. Mengapa muncul peraturan seketat itu? Usut punya usut, ternyata kalau sampai ada sepotong kertas yang tertinggal di meja kerja, pasti ditandatangani Presiden. Maklum, waktu itu memang masih baru; jadi masih gres dan tokcer.
Dan joke yang ini sebenarnya tergolong kelewatan; tapi uniknya, menurut sebuah sumber, yakni orang dekat di Sekretariat Negara, setelah mendengar lelucon tersebut Pak Habibie cuma menanggapinya sambil ketawa. Kalau toh kemudian tercetus dalam ucapan, paling banter dia akan berkata, “It’s OK. It’s just a joke.” Benarkah Habibie sehebat itu?
Dikisahkan, sejak Indonesia merdeka hingga tahun 1999, praktis Indonesia baru memiliki 3 presiden. Dan konon, menurut lelucon itu, ketiga presiden itu sama-sama gilanya. Kalau presiden pertama gila wanita; presiden kedua gila harta; maka presiden ketiga, gila beneran!
Berbeda dengan Baligate, yang belum melahirkan karikatur yang josss dan signifikan; kasus Watergate justru sebaliknya. Begitu heboh dan marak merebak; pendek kata, karikatur tentang Presiden Nixon muncul di hampir semua koran Amerika. Salah satu yang menarik adalah sebuah koran yang memvisualkan keruwetan kasus itu dengan ungkapan yang sangat khas. Digambarkan Nixon tampak duduk di kursi sebagai tertuduh; namun, hakim, para juri, pembela, penuntut dan pengunjung sidang, semua juga berwajah Nixon! Surealis sekali, bukan?
Diam-diam lomba membuat lelucon antar peta kekuatan organisasi politik pun juga berlangsung cukup ramai. Terutama di saat menjelang Pemilu 1999. Kalau Gus Dur pernah membandingkan unsur NU yang ada di PKB dan NU yang ada di luar PKB itu bagaikan seekor ayam yang mengeluarkan sesuatu dari duburnya; yaitu  telor dan (maaf) telek. Sementara itu dari kubu PDI Perjuangan sebagai sekutu PKB, juga tak mau kalah kreatif dari rekannya dan mengeluarkan  lelucon seperti ini: Presiden pertama Indonesia itu, suka wanita; presiden kedua, takut sama wanita; presiden ketiga, kewanita-wanitaan; maka presiden keempat, jelas wanita beneran!
Begitulah, sehingga secara tak terduga, di antara  bersimpang siurnya situasi krisis yang mencekik, teror yang menggila, penjarahan dan perampokan yang merajalela dan terjadi pada saat itu, kehadiran lelucon, betapapun sedikitnya terasa seperti setetes air yang memberi kesejukan pada masyarakat yang sedang kehausan dan kelaparan kepercayaan pada para elit pimpinannya itu.
Dan puncak dari seluruh momentum “ger-geran” (bisa dibaca: geger-gegeran atau gerrr-gerrran) di tingkat elit itu ada pada Pak Harto, terutama sesudah dia lengser. Bukan saja munculnya lelucon tentang dia yang membanjir dan meluap di internet, tetapi juga dimeriahkan dengan  rumor, buku, bahkan hujatan (lelucon yang menghakimi) yang ramai beredar di toko buku dan dikunyah masyarakat secara sangat lahap. Rakyat tetap masih belum kenyang juga. Barulah ketika Butet Kartaredjasa, seorang aktor monolog dari Yogyakarta, membawakan sosok dan figur menonjol di zaman Orde Baru dalam sebuah pentas, gegerlah publik. Berebutan mereka mengundang Butet. Sehingga hotel, kafe, bahkan stasiun TV diramaikan oleh sepak terjang Butet. Ingin apa sebenarnya masyarakat itu dari Butet? Ingin bisa ketawa atau ngetawain?
Ini dia soalnya. Saat itu telanjur terjadi salah persepsi dalam benak para elit politik atau penguasa. Mereka terjebak pada keyakinan bahwa lelucon itu membahayakan. Mereka juga mendramatisasi situasi agar tak menganggap enteng lelucon; karena sebuah senyum atau tawa juga dapat menggerakkan revolusi. Akibatnya, lelucon-lelucon kritis dan cenderung pedas, disikat habis tanpa ampun. Padahal bila para elit penguasa mau mengkalkulasi, seharusnyalah mereka berterimakasih karena masih ada orang yang membuat lelucon. Masih ada orang yang menuturkan lelucon dan mendengarkannya. Apalagi sampai mengapresiasi dan ketawa terbahak-bahak karenanya. Dengan demikian kebringasan dan agresivitas masyarakat bisa tereliminasi. Dan lelucon di situ, betapa pun tajamnya, tetap saja akan berhenti sebagai lelucon. Masyarakat pun lupa menggalang kekuatan, apalagi melakukan upaya-upaya makar.
Bila substansi lelucon sudah bebas dari agitasi dan pretensi politis, maka situasi yang ada sebenarnya sudah bisa dianggap  kembali ke lelucon murni; lelucon yang benar-benar dimaksudkan untuk menghibur dan menyenangkan hati. Bukankah orang bilang, “Ketawa itu sehat?” Lagi pula, lelucon juga dapat digunakan untuk mengukur kualitas demokrasi seseorang; asal tidak dadakan dan dibikin-bikin!

Wawancara Imajiner dengan Bung Karno dan Pak Harto


MALAM ini langit agak mendung. Terus terang saya agak gelisah. Bulu kuduk berdiri. Bukan karena melihat hantu; tetapi karena melihat proyeksi bayangan sendiri. Orang yang rutin membaca koran, majalah atau tabloid apalagi, pasti merasakan itu. Mendengarkan radio, menonton berita di televisi, hampir tak ada bedanya. Negeri ini seperti tengah diancam oleh suatu kekuatan tak terlihat yang sedang bergerak. Begitu dramatiknya pers melukiskan proyeksi-proyeksi itu. Saya hanya bisa bertanya dalam hati, benarkah negara kesatuan Republik Indonesia yang elok ini berada dalam situasi bagai telor  di ujung tanduk? Atau justru sebaliknya, bagai  tanduk di ujung telor?

Seorang rekan menyarankan agar saya “iseng-iseng”  mencoba bertanya pada pendiri dan “pembangun” negeri ini lewat obrolan lintas ruang alias imajiner, siapa tahu bisa ditemukan nalar dan pencerahan. Menarik juga usul itu. Saya pun mencobanya. Tapi bagaimana caranya? Setelah saya mempelajari beberapa metode yang ada; misalnya dengan meditasi sebagaimana disarankan Prof. DR. dr. Luh Ketut Suryani, Anand Krishna, Merta Ada, tampak juga tanda-tandanya. Dan kunci persoalannya terletak pada bagaimana mengelola nafas dan konsentrasi. Di barat, salah satunya dikenal dengan istilah Metode Silva; yaitu melakukan proses penurunan gelombang otak dari kondisi sadar ke kondisi Alfa. Suatu kondisi setengah sadar dan setengah tidak sadar. Seperti orang yang riyep-riyep mau tidur tapi waskita. Dalam bahasa sehari-hari di lingkungan saya dikenal dengan istilah: khusuk.

Setelah melewati sejumlah tahapan dan proses, saya mulai melihat sebuah wilayah di ujung cakrawala. Meskipun remang-remang, tapi bisa terdeteksi tanda-tanda yang khas. Ya, wilayah itu ternyata sebuah daerah istimewa yang resmi berdiri pada 7 Desember 1956. Dasar hukum pendiriannya berdasarkan Undang-undang No. 24/1956. Luas wilayahnya saat itu, 55.390 km2 atau 2,88% dari wilayah Indonesia. Mayoritas penduduknya beragama Islam (97, 8%). Ya, dan ada yang sangat menarik, lambang daerahnya dinamakan Pancacita atau lima cita; muatan maknanya, keadilan, kepahlawanan, kemakmuran, kerukunan dan kesejahteraan. Tetapi mengapa dari makna-makna yang bagus itu tiba-tiba melintas gambaran gelisahnya manusia yang berjumlah ribuan itu tampak sedang  berlarian ke berbagai jurusan; ada yang  ke selatan, utara, timur, barat dan lain-lainnya? Sedang apa mereka? Mengapa mereka tampak marah-marah, menangis dan menuntut sesuatu yang rupanya telah lama tidak mereka miliki lagi.
Saya meningkatkan voltase konsentrasi untuk mencapai channel yang lebih tinggi; yakni, sebuah wilayah gelombang yang mampu menampilkan visual lebih jelas -- sebut saja sebuah fasilitas mega digital --  sehingga kami dapat secara intens berinteraksi. Benar!  Layaknya tubuh dan jiwa  saya tersedot ke dalam layar CD games tiga dimensi, langsung berhadapan dengan sang jagoan; sungguh peristiwa ini membuat saya nervous setengah mati. Sang jagoan yang saya maksudkan di alam yang tak saya ketahui itu adalah Bung Karno.


“Heh! Gedubrakan kayak orang sableng; kamu ini siapa?” tanya Bung Karno.
“Maaf, Bung! Saya orang biasa, seorang hamba Allah,” jawab saya masih kemanjon.
“Mau apa blusukan ke mari. Mau niru-niru Christianto Wibisono yang sekarang ngambeg dan tinggal di Amerika Serikat, itu?”
“Secara teknis memang iya, tetapi secara substansi, tidak.”
“Tidak bagaimana? Memangnya aku bodoh? Aku tahu, kerjamu itu usil, tukang tanya pada orang lain; lalu jawaban orang yang kamu tanya, kamu siarkan ke orang yang lain lagi. Tumbak cucukan. Begitu, kan? Bukan hanya itu. Setahu saya kamu juga suka bikin plesetan. Apa aku ini juga akan kamu plesetkan?”

“Wah, kalau yang itu saya tidak tahu, Bung. Saya cuma menjalani pekerjaan yang memang sudah digariskan takdir.”

“Ha-ha-ha…Tuhan memang maha jenius; dunia juga diisi orang-orang gendheng macam kamu supaya yang lain  bisa ketawa. Ibarat senar gitar tidak mudah putus karena  sehabis dipakai dikendorkan lagi; ha-ha-ha!”
Saya cuma bisa celingak-celinguk. Tapi apa boleh buat. Saya sudah sampai di sini. Pantang untuk surut kembali.
“Tapi, Bung. Pertanyaan yang akan saya ajukan ini serius, lho. Mohon Bung, bisa jawab serius, juga.”
“Lho, humor itu juga serius, lho. Humor yang tidak serius itu tempatnya di RSJ; di sana,  kontrol tak ada, sudah dol. Jangan under estimate sama humor; kuwalat sama profesimu sendiri, lho!”

Ceilaaa! Bahagia juga hati saya; ada orang yang bisa mengapresiasi humor dengan baik. Sense of humor beliau boleh juga.
“Baik, Bung. Saya telah melihat sebuah wilayah yang rakyatnya -- atau paling tidak sejumlah pihak yang mengaku mewakili suara hati nurani rakyatnya – kini tampak tengah sibuk menyanyikan lagu berjudul referendum. Saya tidak tahu pasti, apakah syairnya berbunyi: federasi, merdeka penuh, atau kesatuan; tetapi saya hanya merasakan sesuatu yang tak enak di hati. Sebagai salah seorang pendiri republik ini, bagaimana pendapat Anda melihat situasi yang seperti itu?”


“Kamu mestinya menyimak secara seksama pidato saya pada 17 Agustus 1950. Saat itu adalah momentum kembalinya seluruh bangsa Indonesia ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengapa RIS (Republik Indonesia Serikat)  yang berbau federalisme itu tak bertahan lama?  Mengapa pada saat itu semua dengan rela hati menggabungkan diri ke Negara Kesatuan? Pasundan, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Madura, Jawa Tengah, daerah-daerah di Kalimantan, Padang, Sabang, Sumatera Timur hingga Indonesia Timur menggabungkan diri? Ide Negara Kesatuan itu meliputi dari Sabang sampai Merauke; dari Ulusiau sampai Kupang. Mengapa mereka bisa memiliki niat yang sama? Bukan saya yang harus menjawabnya. Kalau sekarang misalnya, Aceh mbalelo; Papua bertingkah, Maluku gelisah; secara ide niat itu berarti mementahkan kesepakatan Negara Kesatuan RI; tetapi secara moral, mengapa mereka sampai memunculkan gagasan seperti itu? Apa saja yang telah dilakukan pemerintah sebelumnya? Itulah kunci persoalannya.”
“Kalau persoalan ketidakadilan dan ketidakmerataan bukankah pemerintah sudah punya niat baik untuk merealisasikannya? Tetapi mengapa situasinya tetap juga mengkhawatirkan?”

“Ah, kamu ini. Kamu paksa saya untuk bicara masalah yang klise dan klasik. Apakah yang disebut sebagai masyarakat yang berkeadilan sosial? Masyarakat keadilan sosial, kecuali berdasar atas pembagian bekal-bekal hidup dan alat-alat hidup secara adil tetapi juga tersedianya bekal-bekal hidup dan alat-alat hidup itu sebanyak-banyaknya. Mereka, bukan saja meminta distribusi secara adil tetapi juga meminta adanya produksi yang secukupnya. Mereka meminta adanya pertanian yang luas dan tinggi mutu. Juga meminta adanya pabrik-pabrik yang berefisiensi tinggi. Mereka meminta adanya komunikasi dan lalu-lintas perhubungan yang sempurna; meminta adanya rakyat yang tidak buta huruf atau SDM yang memadai; meminta adanya teknologi tepat-guna; meminta adanya keamanan dan ketenteraman; meminta adanya semangat kebersamaan yang membawa berkah bagi seluruh masyarakat. Dan semua itu tidak dengan sendirinya jatuh dari langit. Pemerintah pusat berkewajiban mewujudkannya; menjelmakannya!”

Berhubung halaman sangat terbatas, saya buru-buru pamit pada Bung Karno dan putar channel ke gelombangnya Pak Harto.

“Sugeng ndalu, Pak?” sapa saya sesuai kaidah adat istiadat Jawa.
“Oh, selamat malam. Ada apa, Mas?” tanya Pak Harto tetap dengan senyum full pede.
“Meskipun tersirat, Bung Karno sempat menyinggung soal gelombang sparatisme yang belakangan melanda Indonesia karena perilaku salah pemerintah yang lalu; maksudnya pemerintahan Orde Baru. Bagaimana menurut pendapat Bapak?”

“He-he-he…namanya daripada pembangunan itu, memang butuh daripada pengorbanan. Jer basuki mawa beya. Ya, to? Jadi sudah sepantasnya sebagai saudara sebangsa dan setanah air, pihak yang kuat harus membantu daripada pihak yang lemah. Jadi kita harus ambeg parama arta. Mulat sarira angrasa wani. Sigra tan magita. Sadumuk bathuk, sanyari bumi. Aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh, aja gugupan. Ya, to? Ya, to?”
“Saran Bapak untuk pemerintahan sekarang?”

“Kita ini kan bangsa daripada yang berbudi luhur. Jadi ya harus bisa melakukan daripada  mikul dhuwur, mendhem jero. Menghormati daripada jasa-jasa senior dan menyembunyikan serapat-rapatnya dosa-dosa dan kesalahan daripada sang senior itu. Sebagai pemimpin harus bisa mengamalkan daripada delapan kebajikan, seperti yang termuat dalam serat  daripada Hasta Brata, begitu. Pemimpin harus bertindak seperti daripada Matahari, Bulan, Bintang, Bumi, Angin, Laut, Api dan Air.”

“Kok Bapak nyontek Raden Ngabehi Ronggowarsito?”

“Ah, nggak apa-apa. Dia juga nyontek daripada Prabu Rama Wijaya.”

Saya balik ke keadaan sadar. Malam sudah makin larut.


Wawancara Imajiner dengan Bing Slamet

Bing Slamet

PAS di ujung malam yang sepi saya berhasil bertemu dengan almarhum Bing Slamet secara rokhani. Siapa Bing Slamet, bagi generasi dewasa tentu bukan nama asing; tapi bagi anak muda sekarang mungkin agak membingungkan. Apakah ia familinya Bing Crosby atau oom-nya Slamet Rahardjo. Tapi kalau anak-anak muda dipandu dengan menyebut nama Adi Bing Slamet atau Iyut Bing Slamet, pasti mereka berkata, “O…itu.”
Sebagai pendekar lawak yang serba bisa pada zamannya, Bing Slamet tetap menebarkan inspirasi bagi para pelanjutnya; yaitu pelawak-pelawak masa kini. Dan berangkat dari rasa penasaran melihat perkembangan lawak yang ada saat ini, saya todong dia langsung dengan pertanyaan-pertanyaan yang tajam.

Halo Pak Bing, Anda yakin, perkembangan lawak sekarang itu sudah benar menurut estetika seni lawak?
Lho, soal estetika tidak mengenal kata benar atau salah; yang ada cuma baik dan buruk. Setengah baik dan setengah buruk.
Katakanlah begitu; menurut Anda?
Sulit menjawab itu; karena situasi yang berkembang saat ini sudah sangat berbeda dengan kondisi pada zaman saya. Katakanlah lawak, terutama yang muncul di televisi, itu sebuah industri budaya, maka pengelola stasiun televisi, rumah produksi dan produsen pemasang iklan sudah sangat sadar pentingnya pasar. Mereka bahkan tidak mau repot-repot dialog secara intensif untuk mencapai kondisi yang mencerahkan. Bagi mereka, mungkin ada semacam komitmen bahwa goal dari sebuah upaya adalah tercapainya rating yang tinggi dan masukan iklan yang fantastis. Ini sungguh rasio pemikiran yang tidak salah. Jadi di mana kontribusi lawak terhadap rokhani pemirsa? Apakah cukup dengan gelak tawa dan munculnya perasaan senang? Ataukah adanya stimulasi nilai yang membuat pemirsa merasa semakin kaya secara rokhani? Sepertinya ruang-ruang itu tak bisa ditemukan dalam media yang namanya televisi. Atau jangan-jangan terlalu berlebihan kalau hal itu dibebankan pada seni lawak?
Anda tidak yakin bahwa seni lawak sama seriusnya dengan seni-seni yang lain?
Yakin, dong. Kelihatannya memang slengekan, cengar-cengir, perilaku bodoh dan ugal-ugalan; tetapi itu semua tak mungkin bisa lahir jika tanpa dilambari semangat berkreasi yang sungguh-sungguh dan kerja keras. Lihatlah slengekannya orang gila; apakah ia bisa diatur menurut “skenario”? Bisa mengikuti keinginan pengarah acara? Tidak, bukan? Slengekannya pelawak lain. Apalagi kalau slengekan itu berjenis kelamin canggih dan unggul; artinya: berkualitas. Mana mungkin itu dibikin secara asal-asalan?
Slengekan berkualitas, maksudnya?
Hasil olah perenungan dan kontemplasi; begitu orang sastra atau budaya sering bilang. Kriterianya: mengandung unsur baru, berdaya kejut dan merangsang perasaan intelektual penikmatnya. Itu di luar unsur lucu, menarik dan punya pesan moral yang baik.
Kok jadi berat ya tugas kreator seni lawak?
Sangat berat. Benar orang bilang, membuat orang menangis lebih mudah ketimbang membuat orang tertawa. Dan ketika saya mengikuti perkembangan yang terjadi, terutama dalam olah kreasi karya, di satu sisi saya prihatin, tetapi di sisi lain saya juga bisa memahami kalau melihat pelawak banyak mengulang stilisasi ide yang sudah menjadi trade mark mereka. Karena apa? Karena menemukan ide yang bagus itu sulitnya bukan main. Kalau menuruti kritikus sih, ide baru tadi harus dipresentasikan sekali saja dalam hidup si pelawak dan selanjutnya bikin yang baru lagi; apa ini tidak gila? Iya, kalau satu ide terus bisa buat hidup tujuh turunan, para pelawak rela melupakannya, tapi kalau apresiasi masyarakat sedang tidak peduli pada orisinal atau ulangan, mengapa tidak dimanfaatkan? Sedangkan satu naskah kreatif di teater saja, bisa dipentaskan oleh kelompok drama yang berbeda untuk periode waktu yang tak terbatas. Sebutlah naskah Shakespeare saja, sampai sekarang masih laku dan boleh ditafsirkan secara berkembang oleh sutradara yang berbeda, mengapa di lawak tuntutannya begitu kejam dan menafikan pengulangan?
Mungkin karena gagasan seni lawak berupa potongan-potongan daya kejut?
Panjang atau pendek tergantung bagaimana pelawak mengolahnya. Tetapi, ada baiknya pelawak juga punya kontrol diri; terutama kalau pengulangan ide itu terlalu sering. Pada saat itu sudah seharusnya dihentikan dan diganti dengan gagasan yang baru. Atau semacam pengembangan, eksplorasi dari ide yang sebelumnya, sehingga ada sesuatu yang terkesan beda.
Maraknya Ketoprak Humor, Ludruk Glamor, Srimulat, menurut Anda?
Itu sah-sah saja. Sebenarnya itu semacam plesetan karena ketoprak dan ludruk yang baku sudah dinilai kurang segar dan akomodatif terhadap berbagai kecenderungan yang baru; sementara ketoprak dan ludruk humor bersedia menampung dan memberi ruang; dan kenyataannya masyarakat menyambut itu dan merasa ada udara yang segar dari kesenian yang secara tradisi juga lekat dengan memori mereka. Tetapi, bila pilihan tersebut ternyata hanya menjadi “pemaaf” dan “pembolehan” dari berbagai kekurangan atau kendala para pemain tamu atau baru yang direkrut secara berani, lama-lama juga bisa tiba pada titik jenuh. Ada baiknya dipikirkan  upaya mengeksplorasi jalan cerita, analogi penokohan, kreasi dialog dan semua unsur dari realitas pementasan yang ada. Sebutlah kalau membuat musik humor tidak berhenti pada syair yang lucu, tetapi juga mengolah nada atau tone yang berdaya kejut, menampilkan sensasi ukuran instrumen maupun cara memainkan yang direncanakan secara entertainment lawak. Pendek kata jalan-jalan lebih menyegarkan ketimbang hanya jalan di tempat.
Timbul pertanyaan di masyarakat, mengapa banyak pelawak yang berumur pendek?
Itu karena pelawak sangat dikenal oleh lingkungannya. Sehingga setiap ada sesuatu yang menimpa diri pelawak, segera tersebar ke masyarakat. Padahal, yang tidak dikenal, banyak juga yang mati muda atau berumur pendek.  Mengapa masyarakat mengakait-kaitkan usia dan profesi seseorang?
Itulah yang juga ingin saya tanyakan ke Anda?
Ah, jangan ngaco, dong. Soal mati hidup manusia kan sudah ada yang ngurusin. Pelawak yang mati muda barangkali karena tak bisa mengatur diri ketika laris. Semua tawaran show diterima, akhirnya masuk angin tidak terasa. Perbandingan antara kerja dan istirahat tidak seimbang sehingga mengundang datangnya penyakit. Itu kan soal teknis. Dan sangat manusiawi kan kalau seorang penghibur sangat khawatir pada datangnya hantu: tidak laku lagi? Akibatnya ia banting tulang habis-habisan sampai akhirnya tinggal tulang beneran. Mungkin kalau kita berpikir wajar dan sederhana, roda itu bergerak. Adakalanya di atas, adakalanya di bawah. Soal biasa, kan? Lagi pula, kalau tawaran gagasan si pelawak tak pernah basi, kan dirinya akan tetap laku sepanjang hidup.
Bagaimana supaya punya gagasan yang selalu segar?
Ya, kerja sama dengan orang-orang kreatif. Seorang pelawak adakalanya tidak bisa memberikan sesuatu yang dia sendiri memang tidak punya. Untuk bisa punya dia harus bekerja sama dengan yang punya. Nah, namanya orang-orang kreatif, tentu mereka selalu bekerja keras untuk menghasilkan karya-karya baru, kan?
Penghasilan pelawak jadi terbagi, dong?Lho, itu logis. Pelawak dapat strum ya harus bayar rekening ke yang memberi setrum dong; itu baru fair. Kok mau enaknya saja. Emangnya bikin ide kreatif itu mudah?
Wah, kalau begitu saya pamit dulu, Pak Bing, terimakasih atas komentar Anda…
Ah, Ente bisa aja ngakali pembaca dengan menjual nama saya he-he-he!
Oh ya?

Saturday, December 31, 2011

(Article) The Anatomy of Cartoonist's Activity

 

Membedah Anatomi Kerja Kartunis


Catatan:
Menikmati kartun yang sudah jadi memang mengasyikkan; tetapi tahukah kita bagaimana ketika sang kartunis menghadapi kertas kosong dan otaknya lagi blank, tidak ada ide sama sekali? Apa yang harus dilakukannya? Dari diskusi di bawah ini mungkin akan Anda dapatkan jawabannya. Di balik setiap kartun bagus, selalu ada literature yang mem-back up kinerja sang kartunisnya.
SEMINGGU sebelum acara diskusi kartunis (Lektur Terbuka: Kartunis dan Tugasnya oleh GM Sudarta dan Lat) di Taman Ismail Marzuki, 12 Juli 2003, saya didaulat kartunis Pramono (Ketua Umum Pakarti -- Persatuan Kartunis Indonesia, waktu itu) agar bersedia memandu acara diskusi tersebut, disponsori oleh Pusat Kebudayaan Jepang, Jakarta. Bagaimana mungkin saya dapat menolak “perintah” beliau, salah seorang tokoh kartunis senior negeri ini, apalagi bila itu ada kaitannya dengan sebuah momentum yang menarik; yakni bertemunya dua figur maestro kartunis Indonesia dan Malaysia , GM Sudarta dan Lat, yang seingat saya baru pertama kali dipertemukan dalam sebuah forum di Indonesia.

Gairah budaya pun semakin tumbuh, apalagi bila mengingat Indonesia sedang dilanda berbagai arus kepentingan yang membuat pening kepala, geli hati sekaligus jengkel karena UU Pilpres, Susduk, Hak DPR untuk menyandera, dan lain-lain yang begitu naïf, ternyata bisa terjadi dan memang benar-benar terjadi.
Saya pun bersiap-siap mengumpulkan joke-joke “maut” agar dalam pelaksanaan diskusi dapat diarahkan ke suasana yang lebih “pedas” tapi segar dan eliminatif. 

Harapan saya, kendati hanya berlangsung selama dua jam saja, pertemuan dua jagoan itu bisa menjadi katarsis bagi semua yang hadir. Sejenak melupakan proses sejarah yang gerah, yang terjadi di negeri ini. Tambahan lagi, diskusi yang bertajuk: Kartunis dan Tugasnya bukankah tergolong tema ringan dan pasti akan penuh dengan canda dan derai tawa. Bayangan lucu yang terproyeksi dalam kepala saya, pasti para kartunis akan menjawab sambil berseloroh, “Tugas kartunis apa lagi? Tentu saja mencari nafkah buat keluarganya”. Hadirin yang kaget akan merespon jawaban itu dengan gelak tawa dan tepuk tangan; betapa mewahnya bila suasana seperti itu bisa terjadi.

Logika seperti ini pula yang pernah dipakai Arswendo Atmowiloto, ketika menangkis pertanyaan secara ndugal, mengapa gerakan sparatisme di Indonesia marak, bukan saja di Aceh, Maluku tapi juga di Papua? Jawaban Arswendo, PDI-P-lah yang harus bertanggung jawab, jelas-jelas Indonesia sudah lama merdeka, mengapa partai itu selalu meneriakkan yel-yel, “Merdekaaaa…Merdekaaaa!!!”

Arswendo memang Arswendo. Untuk mengamankan pernyataannya yang rada ndugal itu, dia berlindung di balik predikatnya sebagai seorang guyonis. Guyonis? Istilah gendeng apa pula ini? Tapi secara gramatika, tidak salah. Guyon itu kata benda dan akhiran is, tak mau kalah dengan humoris, kartunis, lengkap kan edan-edanannya? 

Maka, seperti yang sudah dijadwalkan, diskusi tentang kartun dan kartunis itu pun terjadilah…!

***
GM Sudarta, seperti yang sudah diduga, tampil piawai sebagai story teller yang memikat, runtut, terutama ketika menyampaikan “makalah”-nya berupa tumpukan gambar karikatur mahasiswa-mahasiswa Bandung pada tahun-tahun sekitar 1965-an, sesekali muncul leluconnya yang inspiratif, dan tetap dikemas dalam bingkai elegan. Lat yang tampaknya pendiam dan angker, setelah berbual-bual (berbicara) secara lugas, apa adanya, barulah muncul sepenggal demi sepenggal leluconnya. Hampir semua yang dia sampaikan berdasar pengalaman nyata. Namun disusun secara bersilang tumpang sehingga setiap terjadi persinggungan logika, selalu muncul sesuatu yang mengagetkan dan menimbulkan tawa.

Persoalannya kemudian, diskusi tumbuh tidak sekadar mengobral tawa dan katarsis. Joke-joke maut yang sudah saya siapkan pun akhirnya tak relevan dimunculkan karena suasana telah berkembang sebagaimana yang dikehendaki takdir. Inti dari “makalah” GM Sudarta yang menggambarkan keberanian para kartunis (mahasiswa) saat itu yang demikian telak dan langsung membidik sasaran atau obyek, yakni Bung Karno, sebagai symbol rezim Orde Lama dan mendukung secara eforia kelahiran Orde Baru, pada akhirnya membuat para kartunis itu harus terkecoh, karena rezim yang baru pun, secara pelan tapi pasti mulai memasung kebebasan yang semula dijanjikan semanis madu itu. Pesta demokrasi pun usai sejak awal tahun 1980-an hingga Rezim Soeharto tumbang, 1998.

Fakta itu mengingatkan saya pada buku “Catatan Seorang Demonstran” karya Soe Hok Gie. Salah satu pernyataan Soe Hok Gie, yang juga hasil mengutip dari intelektual asing, (maaf, saya tak ingat namanya), seorang cendekiawan dilahirkan untuk memusuhi rezim yang korup; setelah rezim yang korup tumbang, maka akan muncul rezim baru. Rezim baru tak lama kemudian juga korup, sang cendekiawan pun memusuhi rezim yang baru. Demikian seterusnya. Maka takdir seorang cendekiawan akan selalu sendirian dan selalu sendirian dalam rezim yang bagaimana pun.

Sementara itu Lat banyak bercerita tentang dirinya yang tak berkantor di mana-mana, tetapi bekerja di rumah sebagai kartunis untuk harian New Straits Times, Malaysia. Seminggu tiga kali. Sebulan rata-rata 12 karikatur. Gambar-gambar itu juga dikirim via email, sehingga Lat tak perlu hadir di kantor koran tersebut. Setelah berpuluh-puluh tahun malang-melintang di Kuala Lumpur, Lat merasa perlu balik ke kampung, Ipoh, untuk berbagai alasan. Di antaranya adalah memberi ruang bagi kemunculan kartunis-kartunis muda dan yang jelas suasana di kampung lebih nyaman: udara jauh lebih sehat dan sosialisasi dengan warga lebih hangat; mungkin spirit kemanusiaan dan ketulusan lebih terasa daripada di kota.

Sesuatu yang menggembirakan, di luar dari proyeksi nakal saya, diskusi dua jam itu tak sengaja dapat menghadirkan simpul-simpul penting mengenai sosok manusia yang bernama kartunis. Khususnya yang berkaitan dengan sistematika berpikir, proses kreatif dalam berkarya, metodologi kerja dan motivasi pilihan profesi. Dari simpul-simpul tersebut bila disederhanakan, dalam diri seorang kartunis (tak peduli apakah ia seorang gag cartoonist, social cartoonist maupun political cartoonist) terdapat tiga elemen kompetensi yang satu dengan lainnya saling terkait. 

Elemen pertama, kompetensi di bidang teknis/artistik; seorang kartunis dengan sendirinya memiliki kemampuan teknis menggambar yang memadai. Dengan kata lain bila ia menggambar seekor kuda, maka siapa pun yang melihat gambar itu akan mengatakan itu gambar kuda. Bukan kerbau, sapi atau jerapah. Bila seorang kartunis bermaksud menggambar kuda, tetapi yang tampak oleh orang banyak bukan gambar kuda, maka si kartunis dianggap gagal berkomunikasi. Itu sama dengan dia belum memiliki kompetensi di bidang teknis/artistik. Dan komunikasi kepada publik akan semakin kacau bila ternyata dari gambar yang menyimpang itu ketambahan lagi dengan kata-kata, bayangkan, betapa carut marutnya kemungkinan komunikasi yang bisa terjadi kemudian.

Elemen kedua, kompetensi di bidang pengamatan (jurnalis, kolomnis, penulis, cerdik cendekia, ilmuwan dan sebagainya); seorang kartunis dengan sendirinya adalah seorang yang memiliki kemampuan dalam mengamati berbagai masalah secara cermat dan akurat. Khususnya menyangkut detil dan substansi. Setelah diendapkan beberapa saat, kemudian ia membuat analisa-analisa. Membuat pertanyaan dan asumsi. Bahan berupa analisa ini untuk sementara dibiarkan menggantung menunggu proses yang ketiga.

Elemen ketiga, kompetensi di bidang lelucon (humoris/kreatif); seorang kartunis dengan sendirinya adalah seseorang yang memiliki sense of humor yang baik dan mampu menghasilkan lelucon yang baik pula; ia mampu melihat persoalan dari sudut pandang yang beda daripada masyarakat umum. Beda dalam konteks ini tidak sekadar lain, namun beda yang memiliki sejumlah alasan yang dapat dibenarkan. Seperti karikatur karya GM Sudarta (Lihat Kompas, 12 Juli – 2003), seorang narapidana berpakaian loreng duduk di singgasana nomor satu negeri ini dengan senyum lugu dan wajah tak berdosa. Proyeksi karikatur yang nyeleneh dan mengagetkan itu, tidak sekadar beda tapi berlandaskan alasan-alasan yang reasonable. Bila kurang jelas, buka UU Pilpres.
***
DI sisi lain, banyak rekan wartawan yang dengan penasaran mempertanyakan tentang sosok yang bernama kartunis itu. Bila dilihat sekilas performance mereka tenang, kadang justru cenderung pendiam, bahkan ada yang sangat pemalu, tidak suka sosialisasi dengan orang-orang yang belum dikenalnya secara mendalam. Tetapi ketika tiba giliran mereka menggambar kartun, di situlah muncul ide-idenya yang edan dan ugal-ugalan. Ada virus apa sebenarnya di otak kartunis itu? Pertanyaan bernada seloroh ini mudah-mudahan agak terjawab oleh asumsi tiga elemen di atas. 

Bila dipikir-pikir, demikian seorang teman kartunis ngudarasa, mungkin masih lebih enak menjadi pelukis. Tugasnya adalah melukis. Boleh tidak peduli pada masalah-masalah terkini yang lagi hangat atau sudah basi. Boleh melukis yang obyeknya tidak harus lucu; sebaliknya, bebas mengungkapkan hal yang membuat orang bersedih hati. Begitu juga dengan jurnalis, kolomnis, penulis, cerdik cendekia, ilmuwan dan sebagainya. Boleh bekerja dalam jalur job-nya tanpa perlu harus pintar menggambar atau melucu. Tak terkecuali pelawak atau humoris, tidak perlu harus pintar menggambar. Bukankah itu berarti, bahwa secara esensial, kerja sebagai kartunis adalah kerja yang tidak ringan. Ia harus menggabungkan sedikitnya tiga kompetensi sekaligus, sebagaimana dijelaskan di atas.

Mengingat keadaan ini, saya sering bertanya-tanya dalam hati, inikah yang menjadi penyebab mengapa jumlah kartunis negeri ini dari waktu ke waktu terus menyurut? Apalagi bila dibandingkan dengan jumlah pelukis, yang angkanya dari waktu ke waktu justru makin bertambah. Catatan sementara yang ada pada saya, para kartunis yang tidak pernah lagi mengartun di antaranya adalah: Harmoko, Harry Pede, Oet, Tris Sakeh, SNS, Meru Sudarta, Julius Pour, T. Nurjito, Gun R, Mr. Zaggy, Jaya Suprana, Ramli Badrudin, Basnendar, Anwar Rosyid, Odios (saya sendiri), dan masih banyak rekan lain di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang,.Solo, Surabaya dan Bali yang namanya tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Sementara itu kartunis-kartunis Indonesia yang masih setia berkarya, mungkin cukup banyak, namun relatif sedikit bila dibandingkan jumlah pelukis/perupa yang tumbuh di negeri ini. Trio jagoan Indonesia yang sudah tidak asing lagi dan belum tergoyahkan eksistensinya adalah: GM Sudarta, Dwi Koendoro dan Pramono. Ada satu kartunis kawakan, yang lebih senior dari mereka bertiga, kendati tidak spesifik memiliki media (terutama di zaman Orde Baru) namun tetap berkarya, yaitu Sibarani. Almarhum Arwah Setiawan menempatkan Sibarani sebagai salah satu sosok karikaturis paling fenomenal pada zamannya. 

Dari angkatan yang lebih muda lagi, memang terdapat nama-nama seperti: Non-O, Gesi Goran, Gatote, Rahmat Riyadi, T. Riyadi, tetapi nama-nama seperti Priyanto S dan T. Soetanto dari Bandung yang karyanya banyak merajalela di media Jakarta, siapa bisa menafikan kehadiran mereka? Di kawasan lain, kartunis Jitet Koestana yang sering menang lomba di luar negeri, Jango yang punya komunitas penerbitan kartun (humor) di Bali, Tony Tantra yang terus berkarya dalam kemisteriusannya, M. Najib, yang lugu dan lucu seperti “Inul”, Ifoed yang rajin mengembangkan kartun ke advertensi, adalah fenomena-fenomena baru yang tak dapat dianggap enteng kiprahnya. Dalam perkembangannya, kartun ternyata tidak hanya menjadi warga dari seni grafis. Ia kini telah berkembang ke seni hias kaos, interior, instalasi, animasi dan bukan tak mungkin bermutasi ke seni murni.

***

PADA akhirnya, baik GM Sudarta maupun Lat yang siang itu 12 Juli 2003 menjadi “ayah” bagi Oom Pasikom dan Si Mamat (Kampung Boy) harus rela buka kartu dan berendah hati, bahwa hal-hal yang berkaitan dengan sistematika berpikir, proses kreatif dalam berkarya, metodologi kerja dan motivasi pilihan profesi, tetap perlu mengkaitkannya dengan tatanan social dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat. Wajarlah bila dalam berkarya mereka harus mengkalkulasi itu semua supaya karya dan pesannya dapat efektif sampai ke sasaran yang dituju. Artinya, bahwa kartun yang berhasil itu indikasinya adalah dapat membuat senang si pembuat, yang membaca/menonton dan pihak yang dijadikan obyek dalam karikatur/kartun. 

Dengan kata lain, untuk sampai pada situasi itu, mereka perlu menempatkan strategi self censorship sedini mungkin. Setidaknya sikap itu yang diperlihatkan GM Sudarta dan Lat tanpa tedheng aling-aling. Tanpa perlu merasa kurang heroik. Toh bila seorang kartunis berhasil menyampaikan early warning, pesan atau peringatan awal atas suatu masalah atau persoalan, sebenarnya, itu sudah lebih dari cukup. Bahkan, GM Sudarta mengutip salah seorang “suhu” institusi pendidikan tinggi kartun di Jepang yang berkata, bila sebuah kartun sudah mampu berbisik kepada pembacanya, itu sesungguhnya, sudah tergolong berhasil.
Begitulah. Pertanyaannya lagi, wajarkah bila kita menuntut peran kartunis terlalu besar dan berlebihan, misalnya berharap mereka menjadi ujung tombak demokrasi, agen perubahan atau revolusi, lalu apa peran anggota DPR yang terhormat dan bergaji besar itu?

Darminto M. Sudarmo, penulis dan pengamat humor.

(Interview) GM Sudarta: Some Other Time I'd Like to Live in Bali


Memilih Hidup sebagai Kartunis
Perjalanan Menuju Dunia di Balik Cakrawala
GM Sudarta
Rabu Kliwon. Hari itu, malam takbiran menjelang Lebaran, 20 September 1945 dini hari, saya hadir di dunia. Konon, menurut cerita ibu, tamu yang berdatangan menjenguk kelahiran saya adalah barisan makhluk halus seperti genderuwo, pocong, dan glundhung pringis. Tamu-tamu istimewa yang tidak diundang itu membuat ibu pingsan. Entah benar entah tidak cerita itu, yang pasti sampai sekarang saya tidak pernah menjumpai makhluk seperti itu.
Anak yang lahir pads hari Rabu Kliwon, seperti saya, menurut ayah, berdasarkan hitung­hitungan pawukon, nantinya kalau dewasa akan menjadi pendhito. Bukan pendeta, melainkan pendhito dalam bahasa Jawa, misalnya seperti Pendhito Durno.
Tempat tinggal kami tidak begitu jauh dengan rel kereta api. Di mass kecil, saya senang melihat kereta lewat dan sering main di rel. Bila melihat rel kereta api yang memanjang dan kemudian hilang di cakrawala, selalu saya bayangkan bahwa di balik cakrawala itu ada dunia lain. Dan, karena itu, saya sejak kecil berkeinginan untuk melihat dunia di balik cakrawala itu. Itulah impian mass kecil saya, sehingga saya kepingin sekali menjadi masinis kereta api. 
Dengan menjadi masinis, saya bisa menikmati perjalanan jauh dan pergi ke dunia di balik cakrawala.
Saya masih ingat, saat Agresi Militer Belanda II yang sering disebut Clash II, tahun 1948, situasi begitu memprihatinkan. Zaman itu adalah zaman "malaise" bagi rakyat. Oleh karena Kota Klaten, tempat keluarga kami tinggal, diduduki tentara Belanda yang masuk kembali ke Indonesia ndompleng Sekutu, kami sekeluarga terpaksa mengungsi ke Desa Bayat, sebuah desa pegunungan yang terletak di sebelah selatan Klaten.
Diiringi dentuman mortir dan rentetan ledakan peluru, kami mengungsi lewat pinggiran desa. Ibu berjalan kaki dan saya naik sepeda rods tiga yang ditarik ibu dengan menggunakan selen­dang. Di pengungsian, saya sering melihat lewat lubang pintu para pejuang, bergerilya melintasi depan rumah. Pengalaman itulah yang antara lain mempengaruhi perkembangan imajinasi saya, yang kemudian saya wujudkan dalam gambar.

Setelah perang usai, kami sekeluarga kembali ke rumah di Klaten. Meski sudah kembali ke Klaten, tetapi kondisi sosial ekonomi belum pulih. Waktu itu, tidak jarang kami hanya bisa makan jagung, nasi aking atau tiwul. Tidak jarang pula kami makan nasi jagung yang keras, sehingga membuat saya sering menangis karena rahang kesakitan saat mengunyah nasi jagung yang keras itu. Untuk melupakan perut yang kosong, ke­laparan, saya suka mencorat-coret tembok rumah dengan arang. Saya berusaha menggambar orang yang tengah berperang dan menggambar kereta api yang penuh penumpang. Kalau tembok sudah penuh dengan coretan gambar saya, yang menjadi tempat pelam­piasan saya adalah jalan aspal. Saya menggambar dengan menggunakan kapur tulis.
Melihat hal itu, ayah membuat papan tulis dari bekas jendela yang sudah rusak. Papan tulis itu diletakkan di teras rumah. Jadilah saya menggambar apa saja di papan tulis itu. Saya menggambar bintang­bintang film yang saya tonton di bioskop (Ayah bersahabat dengan seorang pemilik bioskop. la suka iseng ikut menjaga pintu bioskop, sehingga meski masih di bawah umur, saya bisa nonton bioskop apa saja. Misalnya, Tarzan, Batman, Superman, hingga film "Niagara" yang dibintangi oleh Marilyn Monroe). Bintang-bintang film itulah yang saya gambar di papan tulis, termasuk Marilyn Monroe. Gambar-gambar saya itu banyak menarik perhatian orang, termasuk anak-anak sekolah yang sewaktu pulang sekolah lewat di depan rumah saya. Itulah, pameran lukisan saya yang pertama!!!

"Pinaringan"
Memang luar biasa, ayah yang kejawen dan boleh disebut "wong kuno", sangat mendukung kegemaran saya. menggambar. Sementara, ada anggota keluarga yang menganggap bahwa pekerjaan gambar-menggambar itu tidak akan menjamin mass depan. "Kamu itu, pinaringan," kata ayah, "yang artinya diberkati Tuhan. Kalau kamu laksanakan dengan balk, akan bermanfaat dalam hidupmu."
Dan, ini bukan hanya kebetulan. Mungkin, ini yang namanya "jalan Tuhan". Oleh karena bisa menggambar, pendidikan formal SD, SMP, SMA bisa saya lalui dengan lancar, meskipun saya tidak pintar dalam berbagai pelajaran kecuali menggambar dan olah raga. Kesadaran akan pinaringan itu mulai terasa benar saat duduk di bangku SMPN I, pada tahun 1957. Guru kesenian saya, Bapak Mawaridi (alm) yang mengajar seni musik dan menggambar, setiap bulan memberi Surat pengantar kepada saya untuk diberikan kepada petugas tata usaha sekolah. Surat pengantar itu digunakan untuk mengambil sekotak cat air merek PDK, kuas, dan kertas gambar. Dengan perlengkapan itu saya diberi tugas membuat lukisan apa saja untuk hiasan sekolah.
Itulah, pameran lukisan saya yang kedua!!!
Apa yang terjadi saat itu, memberikan kesadaran bagi saya akan "harga" sebuah gambar. Dengan sebuah gambar pemandangan permintaan guru aIjabar, membuat saya tidak masalah dengan nilai aljabar, meskipun saya sungguh sangat bodoh dalam ilmu itu. Waktu itu, saya beranikan diri untuk mengirim gambar ke majalah berbahasa Jawa, Penyebar Semangat, yang terbit di Surabaya. Kemudian ketika sudah duduk di bangku SMA, saya membuat komik dengan cerita Perang Aceh di koran Suluh Indonesia, terbitan Jakarta, dan komik cerita Saijah dan Adinda di Pos Minggu, Semarang.
Hasil dari kegiatan saya itu, bisa membantu untuk membayar uang sekolah. Itu sangat bermanfaat karena memang kondisi perekonomian keluarga saya sangat pas-pasan.
Merasa Menjadi Seniman
Saat duduk di bangku SMP, saya bergabung dengan APIK (Angkatan Pelukis Indonesia Klaten), yang dipimpin oleh pelukis Sri Suharto (alm). Bersama dengan Mas Sujio, pelukis asal Klaten, saya dalam keseharian setelah pulang sekolah pergi membawa map berisi kertas buram, berjalan ke mana saja, termasuk ke pasar untuk membuat sketsa. Saat itu, dada saya membumbung, serasa sudah seperti seorang seniman. Hasil dari latihan membuat sketsa mass itu, sangat bermanfaat di kemudian hari. Saya jugs rajin mengunjungi pelukis nasional asal Klaten, Pak Rustamaji (aim). Waktu itu gays lukisan Pak Rustam banyak yang hiper-realis, yang ternyata sangat mempengaruhi lukisan saya mendatang.
Pada tahun 1960-an, dengan maraknya kegiatan LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dengan memasang poster-poster berukuran raksasa di tengah kota untuk kampanye politik, saya merasa tertantang. Saya kemudian menyaingi mereka dengan membuat poster berukuran raksasa pula yang digunakan untuk pentas drama teman-teman teater. Saingan saya tidak langsung waktu itu adalah guru menggambar saya sendiri sewaktu SMA. Meskipun kami berada di garis yang berlawanan, tetapi antara guru dan murid, kami tetap sangat bersahabat. Nasihatnya yang selalu saya ingat dan kenang adalah "Kita harus tidak bosan menggambar kapan saja, karena semakin lama, semakin tak terasa bahwa skill tangan akan bertambah terus."
Saya merasa sudah menjadi seniman. Apalagi, ditambah persahabatan saya dengan seniman-seniman seperti Agus Vrisaba, Deddy Sutomo, Arifin C Noer muda, dan WS Rendra muda, lengkaplah sudah dada membusung dengan pongah sebagai seniman tulen.
Jakarta Memanggil
Pada tahun 1966, setelah dua tahun di bangku kuliah ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) di Jogyakarta, sebuah kesempatan datang. Bersama teman-teman seangkatan, Pramono (kartunis), A Mathews (pelukis), Sri Hady (pelukis), saya diberangkatkan oleh ASRI ke Jakarta untuk bergabung dengan tim perancang diorama dalam pembangunan Monumen Nasional (Monas). Pembuatan diorama itu dipimpin oleh pelukis senior, Haryadi S (aim). Inilah perjalanan jauh pertama keluar dari kota kelahiran yang sangat saya dambakan!
Seiring dengan jatuhnya Bung Karno, proyek pernbangunan Monas pun terhenti. Beruntung kami bisa bergabung dengan group Dasa Ika Karya, 10 seniman di bawah pimpinan pematung nasional Saptoto (aim). Kelompok itu kemudian diterima untuk merancang Monumen Tujuh Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya.
Di Jakarta inilah saya mengenal dan bergaul dengan komunitas seniman yang ada di Balai Budaya dan Taman Ismail Marzuki (TIM). Pergaulan inilah yang membuat saya merasa menjadi pelukis dan aktif berpameran bersama pelukis­pelukis Jakarta. Waktu itu, belum ada dalam benak says untuk menjadi kartunis seperti sekarang ini. Bahkan, untuk biaya hidup di ibu kota, saya lebih banyak menulis cerpen, puisi, dan naskah drama radio.

Jalan Tuhan
Pada akhir tahun 1966, ayah saya tercinta berpulang. Karena dorongan perut, saya harus bekerja. Suatu hari, saat honor cerpen yang saya terima dari majalah Selecta, sudah tak ada lagi yang tertinggal di saku, sobat saya Yasso Winarto tiba-tiba membawa berita bahwa surat kabar Kompas sedang membutuhkan seorang illustrator. Maka pads akhir Maret 1967, berangkatlah saya ke kantor Kompas di Pintu Besar Selatan, dengan menempuh perjalanan sejauh sekitar 7 kilometer dari rumah tumpangan saya di kawasan Menteng. Jarak sejauh itu, saya tempuh dengan cara "ajaib", yakni jalan kaki!
Di kantor Kompas, saya langsung dites oleh Bapak PK Oyong (Pemimpin Umum Kompas pada waktu itu) sendiri, Dengan pulpennya yang bertinta hijau, Pak Oyong meminta saya agar menggambar di atas kertas gambar lebar, suasana penumpang pesawat terbang yang panik karena pesawatnya jatuh. Kebetulan waktu itu ada berita pesawat jatuh di daerah Mapanget, Sulawesi. Tes ini membuat saya berkeringat dingin, karena selama hidup belum pernah naik pesawat terbang.
Saya benar-benar hanya membayangkan suasana dalam pesawat terbang. Maka, jadilah gambar suasana di dalam pesawat terbang: orang panik! Dan, interior dalam pesawat terbang lebih mirip kereta api kelas ekonomi. Tetapi meskipun demikian, esoknya saya diterima untuk bekerja, dengan gaji pertama yang sungguh bagi saya suatu kemewahan yakni Rp 1.250!
Saya yakin, inilah jalan Tuhan, mengingat sejak SMP hingga SMA, saya memiliki pengalaman mengelola majalah Binding dan majalah sekolah. Dan akhirnya, bekerjalah saya di surat kabar!
Lahirnya Oom Pasikom
Sebagaimana berbagai surat kabar lain mempunyai tokoh maskot, misalnya tokoh Mang Ohle di harian Pikiran Rakyat, maka Kompas pun berkeinginan serupa. Bersama dengan salah seorang reclaksi yang sudah senior, Bapak J Adisubrata, saya berdiskusi untuk menciptakan tokoh maskot bagi Kompas. Beberapa kali dalam diskusi itu, kami menyebut kata "si kompas", dan akhirnya kami temukan kata "pasikom". Saya ingin, tokoh ini nantinya adalah seorang tokoh di atas angin, yang tidak ikut golongan Angkatan 45, atau Angkatan 66. Karena itu, tokohnya haruslah menjadi cermin orang yang sudah cukup umur. Jadilah tokoh OOM PASIKOM, yang gemar berbahasa Belanda, dan lebih senang memakai jas meskipun tam­balan daripada batik. Sedangkan raut wajahnya secara tidak sengaja saya ambit dari raut muka Pak Adisubrata!
Semula Oom Pasikom, yang mulai tampil pada bulan April 1967, lebih banyak sebagai humor belaka, tanpa kritik sosial. Waktu itu , teknik gambar-menggambar pun masih terbatas yakni menggunakan teknologi "cetak tinggi" dengan menggunakan klise timah. Oleh karena itu, selain kemampuan menggambar kartun saya masih terbatas,  garis-garis kartun pun masih sangat sederhana. Percetakan offset barn ads pads tahun 1972.
Oom Pasikom secara perlahan berubah menjadi "editorial cartoon". Menjelang Pemilu 1971, Oom Pasikom tampil di Kompas. la tampil berjalan di bawah curah hujan. Sewaktu, menjilat air hujan, is berujar air hujan terasa kecap, padahal musim kampanye belum tiba. Komentar itulah yang membuat marsh golongan partai terbesar waktu itu.
Hal itu menyadarkan saya, bahwa saya bisa berbuat sesuatu dengan kartun!
Menjelajah Mata Angin
Kompas bagi saya bukan hanya nama surat kabar di mana saya menggadaikan hidup, melainkan jugs sebagai penunjuk mats angin. Hanya dengan bermodalkan kemampuan gambar­menggambar, saya berusaha keras untuk membuat kartun walau dengan susah payah. Kartun harus saya bust, mengingat kartun adalah pelengkap surat kabar. Banyak yang saya pelajari dari berbagai arch dan cumber untuk membuat kartun itu.
Dalam membuat "editorial cartoon"yang banyak bermuatan komentar dan kritik, persoalan sulit yang saya hadapi adalah bagaimana menampilkan hat tersebut dalam bentuk gambar dan disampaikan dengan balk. Itulah persoalan awal saya. Sampai kemudian, pads tahun 1970-an, saat menyampaikan sebuah kartun yang keras kepada Bapak Jakob Oetama, Pemimpin Redaksi, saya memperoleh sesuatu pegangan. Saat itu,
Pak Jakob mengatakan "Tugas pers bukan untuk mengubah pendapat orang lain, bukan untuk mendobrak atau revolusi, melainkan untuk menyampaikan mini perbaikan." Ucapan Pak Jakob itulah yang sampai sekarang saya pegang sebagai kredo dalam membuat kartun.
Mungkin untuk membuat saya agar lebih berwawasan kesenirupaan, Pak Ojong memerintahkan saya untuk banyak mengunjungi pameran lukisan dan mulai memilih karya seni yang akan dikoleksi Kompas. Dan jadilah, mulai tahun 1971, kami berburu lukisan, barang antik, dan karya seni lainnya. Kegiatan ini membuat saya banyak bergaul dengan berbagai kalangan seniman dan banyak melakukan perjalanan ke berbagai daerah di negeri ini. Dengan banyak melakukan perjalanan ini, sebagian obsesi saya sejak kecil, pergi ke dunia di batik cakrawala, mulai terlaksana.
Membuat kartun politik, dibutuhkan mampu membaca tanda-tanda yang terjadi di masyarakat. Yakni, terutama tanda-tanda dalam kehidupan politik maupun tindakan atau ungkapan para pejabat yang kits ambit maknanya untuk mencari ide dan komentar dalam bahasa kartun. Dalam ilmu komunikasi yang disebut "semiotika" itu, mungkin secara tidak sengaja saya peroleh dari perkenalan saya dengan MAW Brouwer (alm), kolumnis yang banyak menulis artikel satire di Kompas. Dalam membuat ilustrasi untuk artikeinya, saya hanya menangkap pesannya, kemudian saya membuat kartun yang seakan bukan ilustrasi melainkan kartun yang berdiri sendiri dengan makna yang sama.
Karya kartunis-kartunis senior, seperti Sam Suharto dari surat kabar Indonesia Raya, Sibarani dari Bintang Timur, banyak mempengaruhi saya dalam cara menyampaikan kritik lewat metafora dari terra dengan tajam dan lucu. Goresan garis yang hemat dan efektif karya kartunis Bandung, seperti T Sutanto, Sanento Yuliman, dan Haryadi S, yang muncul di Mingguan Mahasiswa edisi Bandung, pada hari akhir-akhir Orde Lama sampai tahun-tahun permulaan Orde Baru, juga sangat saya kagumi.
Selain itu, saya juga banyak memperoleh pelajaran dari karya jurnalistik yang disampaikan oleh wartawan senior Kompas. Misalnya, Threes Nio (almh). Sewaktu saya konsultasi dengannya menyangkut masalah ekonomi yang akan saya komentari, dia mengatakan bahwa kartunis itu seperti wartawan, harus tahu banyak meskipun sedikit-sedikit. Selain itu, harus ada pula kontak personal dengan pembaca dan "pengagum." Hal itu merupakan
bagian yang menclukung semangat, kreativitas, dan menjadi sumber bursa ide dalam menciptakan kartun yang sarat kritik dan humor.
Menjelajah mats angin yang sebenarnya, banyak saya peroleh dari Kompas. Dalam perjalanan kerja atau memenuhi undangan ke luar negeri, sepertinya saya diizinkan oleh Kompas untuk melampiaskan obsesi melihat dunia di ujung rel di batik cakrawala, dengan menambah kunjungan ke negara lain, selain negara tujuan utama.
Perjumpaan saya dengan para kartunis kenamaan luar negeri, dalam lawatan yang kebanyakan dalam rangka pameran dan seminar kartun internasional tersebut, semakin meyakinkan diri bahwa selain bisa menambah wawasan, juga benar-benar merupakan jalan Tuhan . Jalan yang harus saya tempuh dalam hidup ini, melalui kartun.

Ketidakberdayaan Menghadapi Kekuasaan
Setelah era eforia Orde Baru usai, dari kacamata kartun ada banyak pengalaman yang tidak terduga muncul di hadapan saya yang membuat saya terkesima. Rasa optimisme yang meluap-luap pads awal Orde Baru menjelma menjadi selain harapan baru juga persoalan baru dan kekecewaan baru. Tekanan terhadap pers yang berupa SIT (Surat Izin Terbit) dan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), yang ujung-ujungnya pembreidelan, sangat terasa akibatnya untuk kartun.
Eufimisme, hati-hati, tidak sarkastis, tidak "to the point", tepo seliro, ngono yo ngono Hanging ojo ngono adalah "pedoman" saya dalam menyampaikan kritik lewat kartun. Jangan mengatakan maling kepada maling, melainkan sebut saja "orang yang mengambil milik orang lain tanpa izin", misalnya. Tetapi, hal itu bagi saya bukan kendala, melainkan membuat saya lebih kreatif dalam menyajikan kritik.
Dari pengalaman selama ini, di mans kadar humor juga menjadi muatan utama kartun, ada cars menyampaikan kritik lewat kartun supaya aman dan sejahtera. Yakni, kartun hares membuat senyum. Senyum untuk yang dikritik, supaya tidak marsh dan mau membaca koran kita. Kalau tidak bisa membuat senyum, artinya misi tidak sampai. Bahkan, koran kita bisa tewas, karena dia berkuasa untuk menutup koran. Senyum untuk masyarakat yang terwakili aspirasinya, dan senyum untuk kartunisnya karena tidak takut ditangkap! Memang absurd! Tetapi, ini yang membuat dunia kartun tetap hidup di negara kita.
Hasilnya? Ada juga, meskipun peranan kartun lebih merupakan pembuka katup-katup tekanan sosial. Kekecewaan masyarakat terhadap keadaan, bisa dibikin legs dan terhibur oleh humor dalam kartun. Tetapi kartun juga lebih sebagai vermin ketidakberdayaan kita menghadapi kekuasaan atau penguasa. Bahkan lebih untuk menertawakan nasib diri sendiri. Misalnya, ribuan kali kita menyampaikan kritik tentang korupsi dan birokrasi, hasilnya tetap saja: banyak korupsi dan bahkan berkembang.
Memang, kartun hanya untuk menyampaikan misi perbaikan. Masalah ada perbaikan atau tidak, bukan tanggung jawab kartunis. Kartun hanya sebagai anjing yang menggonggong kalau ada sesuatu yang tidak beres, kata. Oliphant, kartunis kenamaan dari Amerika Serikat. Dengan kartun, kits hanya berteriak dalam bisikan, yang mengutarakan bahwa kita belum terlambat untuk memperbaiki, kata Prof Yasuo Yoshitomo, kartunis senior dan guru besar Departemen Kartun, Universitas Seika, Kyoto, Jepang.
Dan kalau kits amati, sejak Orde Lama, Orde Baru sampai Orde Reformasi, adalah sebuah kenyataan sikap para pemimpin bangsa seperti siklus, yang selalu berulang. Setiap kali sampai ke puncak kekuasaan, sepertinya mereka enggan menerima kritik pers.
Dalam menghadapi kritikan pers, Presiden Soekarno mempunyai senjata yakni batik melemparkan tuduhan kontrarevolusi, antek imperialis atau Manikebu. Presiden Soeharto menggunakan SIT, SIUPP, dan ancaman breidel. Kepada para pengritik, is memiliki ucapan yang sangat terkenal, "merasa bisa, tapi tidak bisa merasa." Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, menuduh pers suka memelintir berita. Presiden Megawati Soekarnoputri, merasa dipojokkan oleh pers. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengimbau pers jangan suka memperolok bangsa. Sedangkan Presiden Habibie, meski hanya beberapa bukan memangku jabatan sebagai presiders, lebih suka bagi-bagi bintang jasa kepada rekan-rekannya, bahkan juga kepada orang "terdekatnya."
Jadi, bukankah hal ini juga mencerminkan kits bahwa kita sebetulnya hanyalah sebagai Don Quishote yang melawan kincir angin?
Menuju Cakrawala
Kartun memang tak lepas dari topik hangat yang sedang terjadi, sehingga bisa clikatakan kartun adalah sejarah dan cermin zamannya. Ide metafora terhadap terra dalam bentuk gambar, setelah dikemas humor, jadilah kartun. Bahkan kadar muatan humor-lah yang paling dominan. Sementara hingga kini, kartun tetap menjadi salah satu menu utama media massa. Sepertinya, memang, "humor akan membuat bumf terus berputar." Dan, kehidupan kartun akan terus berkembang, sejalan dengan berkembangnya kedewasaan kita untuk menerima kritik dan menertawakan diri sendiri. Begitu pula kehidupan profesi kartunis.
Selama ini, telah 40 tahun saya menggadaikan hidup pads kartun. Perjalanan hidup sebagai kartunis ini, semua karena pinaringan bakat gambar-menggambar. Selain itu, ditambah lingkungan tempat bekerja saya yang sangat mendukung, dan kesempatan baik yang datang.
Keadaan dan situasi seperti itu, membuat banyak penghargaan singgah, baik dari dalam maupun luar negeri. Penerbitan buku ini juga merupakan penghargaan tersendiri bagi saya.
Sementara prang mengatakan bahwa sebuah penghargaan adalah menanclakan puncak pencapaian, tetapi sebenarnyalah, penghargaan adalah sebuah tanggung jawab untuk masa mendatang. Penghargaan bukan puncak, melainkan jalan lebih menanjak, yang harus kita tempuh dengan menitinya lebih hati-hati, supaya tidak "tergelincir."
Dan, perjalanan hidup dalam kartun, yang harus saya tempuh ini, masih sangatlah jauh. Karena masih ada perjalanan lain yang harus saya tempuh yakni, perjalanan menuju dunia lain di balik cakrawala!
Source:
Dikutip dari sebagian buku “40 tahun Oom Pasikom” – Peristiwa dalam Kartun Tahun 1967-2007 oleh GM Sudarta; atas saran GM Sudarta sendiri.