Thursday, December 29, 2011

(Article) From Funny to Analogical Claim




Dari Lucu ke Somasi Analogi

SETUJU atau tidak, pojok dari sebuah media memiliki arti yang sangat khusus bagi pembaca bergegas. Sifatnya yang ringkas, lengkap, dan aktual menjadi salah satu rujukan isi. Sementara guyonan, sindiran, kritik sebagai respons atau komentar dari media bersangkutan terhadap satu peristiwa menjadi pengikat bagi pembaca media tersebut.
Cartoon by Jitet Koestana
Pojok sering juga disebut sebagai karikatur dalam bentuk kata-kata. Ada yang menggiring istilah karikatur kata-kata tersebut sebagai “karikata” sayang isitilah ini kurang bergaung. Ada yang menggolongkan pojok sebagai tajuk singkat sebuah media.
Apa pun istilah yang sepatut dan seharusnya disandang, hal paling penting dari sebuah pojok ialah kemampuan memilih topik dan komentar yang menyertainya. Ada media yang lebih suka memilih topik-topik besar dan klise (misalnya soal tokoh-tokoh politisi atau pemerintah). Ada pula yang lebih suka memilih peristiwa-peristiwa khas dan menarik perhatian publik. Dan, tak kurang pula yang lebih memilih
komentar-komentar para ahli yang menyentak perhatian.
Pembaca yang cermat, hanya dengan membaca pojok, akan sangat paham ke
mana visi dan misi media yang bersangkutan bertiup. Nyaris, hal sama dirasakan oleh pembaca saat menyimak editorial atau karikatur. Ekspresi yang muncul itu menggambarkan garis-garis global tentang yang do (boleh dilakukan) dan do not (tidak boleh dilakukan) media bersangkutan.
Apakah itu ada kaitannya dengan masalah ideologis atau masalah yang
kadang hanya teknis, segala sesuatunya dapat saja terjadi. Apa yang berkaitan dengan masalah ideologis, tentu pembaca semua sudah sangat maklum. Namun, yang berkaitan dengan masalah teknis terkadang bisa saja justru lebih rumit dan lebih katro daripada masalah ideologis. Misalnya, yang berkaitan dengan power atau citra (politik), pemegang saham, penyantun finance, atau siapa pun yang secara etik internal, the real atau the invisible man tersebut dianggap sakral kedudukannya.
Pada akhirnya, bagi penulis pojok, bila perspektif dan jam terbangnya
terbatas, ditambah lagi memiliki kekhawatiran menulis salah, dijamin komentar yang muncul pasti tidak lucu alias klise. Atau, cenderung berkomentar yang asman (asal aman). Inilah, kalau diizinkan, saya akan membuat semacam  “tipologi pojok” berbagai media dalam merespons atau memberi komentar kasus yang sama.

Tipologi pojok media
Pertama, misalnya Media A mengangkat topik: "MK putuskan, calon
perseorangan dapat ikut pilkada.”; Komentar yang muncul: ditunggu realisasinya! Kedua, misalnya Media B mengangkat topik: "MK putuskan, calon perseorangan dapat ikut pilkada."; Komentar yang muncul: yang bernyali besar dan berduit!
Ketiga, misalnya Media C mengangkat topik: "MK putuskan, calon perseorangan dapat ikut pilkada."; Komentar yang muncul: partai enggak dapat setoran, dong! Keempat, misalnya Media D mengangkat topik: "MK putuskan, calon perseorangan dapat ikut pilkada."; Komentar yang muncul: independen, murah, tak perlu tim sukses! Kelima, semisal Media E mengangkat topik: "MK putuskan, calon perseorangan dapat ikut pilkada."; Komentar yang muncul: wah, pasti ada yang enggak rela dan kebakaran jenggot!
Tipologi untuk kasus-kasus pojok di atas adalah tipologi dari kemungkinan-kemungkinan penulis pojok dalam mewakili sikap medianya, mengambil posisi dan di mana ia menempatkan diri. Anggap saja contoh di atas adalah fiktif, tetapi hal paling dirasakan oleh pembaca setelah menyimak komentar pojok adalah: ke mana angin visi dan misi sebuah media bertiup. Ada media yang lebih condong membela pemerintah; ada yang lebih condong membela kaum pemodal; meskipun tak kurang pula yang gigih membela kaum duafa (masyarakat yang tak berdaya, miskin,
rakyat yang terpinggirkan).
Di bagian lain terkadang muncul kendala dalam memunculkan komentar
pojok yang cerdas, lucu, dan bernas. Tidak selalu karena faktor-faktor do dan do not tadi, tetapi bisa jadi karena masalah yang sangat elementer: belum menemukan orang yang tepat.
Wawasan yang luas dan rasa humor yang baik tidak dapat diperoleh dari
diklat yang hanya tiga bulan, misalnya. Lugasnya, tugas itu harus diserahkan kepada redaktur senior yang memiliki jam terbang memadai, kreatif, dan memiliki rasa humor yang bagus.
Ternyata, pilihan secara intuitif seperti ini belum juga menyelesaikan
masalah. Dari catatan yang ada, menulis lucu (lelucon) itu bukan pekerjaan mudah. Selain kompetensi intuitif tadi, masih diperlukan kemampuan teknis (strategi) agar pilihan kata-katanya tepat, nuansa dan kejutan yang ingin dicapai pas.
Teori Arthur Koestler yang sangat tua mengatakan, "The essence of recreation is re-creation". Makna sebenarnya dari rekreasi adalah penciptaan kembali. Arti lugasnya, bila pembaca juga dilibatkan dalam penciptaan lelucon di pojok, komentar yang muncul di pojok itu akan menjadi bagian dari karya pembaca. Dengan kata lain, pembaca juga ditantang untuk ikut memikirkan kata-kata yang muncul agar intelegensi dan imajinasi pembaca merasa dilibatkan dalam proses penciptaan itu.
Komentar-komentar pojok yang justifikatif, mematikan kemungkinan dialog, berkemungkinan kurang memberikan kesan apa-apa bagi pembaca.

Harus baru dan beda
Ada teori yang menganjurkan agar penulis lelucon membebaskan diri dari
belenggu pengertian tentang benar dan salah. Agar muara karyanya menuju pada lucu atau tidak lucu. Bukan, benar dan tidak benar. Pencetus teori yang yang lebih galak dan lugas justru menganjurkan supaya mencapai efek kejut dan surprised yang prima, tulisan itu harus baru dan beda! Dalam peta wacana nasional, salah seorang tokoh yang suka berkomentar (lisan) baru dan beda ialah Gus Dur (KH Abdurrahman
Wahid).
Teori yang berkembang di negeri kita melarikan seluruh persoalan ke dunia analogi. Di sana ada dunia yang aman bagi kreativitas dan kenakalan-kenakalan. Tak heran, bila "Republik BBM" sampai "News dot Com" cukup mengguncang publik. Namun, pihak yang tersindir tak dapat berbuat apa-apa, apalagi menuntut. Dan, menyomasi dunia analogi merupakan kekonyolan yang sama sekali tidak lucu. Delik hukum mensyaratkan bukti-bukti faktual otentik. Lha, bukti dari dunia
analogi? Hanya mungkin dibenarkan jika pengadilannya juga dari dunia
analogi.
Sementara itu, teori yang melihat seni menulis lelucon dari kacamata kreatif murni lebih cenderung menganjurkan si penulis mengasah diri pada teori Mind Map (Peta Pemikiran). Teori ini dapat mengembangkan sebuah obyek atau terminologi menjadi tak terbatas dari aspek kuantitas. Terminologi tentang “karet”, misalnya, dapat menjadi ban mobil, sandal jepit, perkebunan, dan sebagainya. Hal yang perlu diperhatikan ialah saling adanya relasi topik dan logis. Teori ini memungkinkan pekerja kreatif, tak terkecuali penulis pojok, kehilangan atmosfir dan perspektifnya. Dengan demikian, ibarat dalang, dia tidak kekurangan lakon!

Source:

Dari Lucu ke Somasi Analogi, Darminto M Sudarmo, KOMPAS, Sabtu, 24 Nov 2007

0 comments:

Post a Comment