Saturday, December 31, 2011

(Interview) GM Sudarta: Some Other Time I'd Like to Live in Bali


Memilih Hidup sebagai Kartunis
Perjalanan Menuju Dunia di Balik Cakrawala
GM Sudarta
Rabu Kliwon. Hari itu, malam takbiran menjelang Lebaran, 20 September 1945 dini hari, saya hadir di dunia. Konon, menurut cerita ibu, tamu yang berdatangan menjenguk kelahiran saya adalah barisan makhluk halus seperti genderuwo, pocong, dan glundhung pringis. Tamu-tamu istimewa yang tidak diundang itu membuat ibu pingsan. Entah benar entah tidak cerita itu, yang pasti sampai sekarang saya tidak pernah menjumpai makhluk seperti itu.
Anak yang lahir pads hari Rabu Kliwon, seperti saya, menurut ayah, berdasarkan hitung­hitungan pawukon, nantinya kalau dewasa akan menjadi pendhito. Bukan pendeta, melainkan pendhito dalam bahasa Jawa, misalnya seperti Pendhito Durno.
Tempat tinggal kami tidak begitu jauh dengan rel kereta api. Di mass kecil, saya senang melihat kereta lewat dan sering main di rel. Bila melihat rel kereta api yang memanjang dan kemudian hilang di cakrawala, selalu saya bayangkan bahwa di balik cakrawala itu ada dunia lain. Dan, karena itu, saya sejak kecil berkeinginan untuk melihat dunia di balik cakrawala itu. Itulah impian mass kecil saya, sehingga saya kepingin sekali menjadi masinis kereta api. 
Dengan menjadi masinis, saya bisa menikmati perjalanan jauh dan pergi ke dunia di balik cakrawala.
Saya masih ingat, saat Agresi Militer Belanda II yang sering disebut Clash II, tahun 1948, situasi begitu memprihatinkan. Zaman itu adalah zaman "malaise" bagi rakyat. Oleh karena Kota Klaten, tempat keluarga kami tinggal, diduduki tentara Belanda yang masuk kembali ke Indonesia ndompleng Sekutu, kami sekeluarga terpaksa mengungsi ke Desa Bayat, sebuah desa pegunungan yang terletak di sebelah selatan Klaten.
Diiringi dentuman mortir dan rentetan ledakan peluru, kami mengungsi lewat pinggiran desa. Ibu berjalan kaki dan saya naik sepeda rods tiga yang ditarik ibu dengan menggunakan selen­dang. Di pengungsian, saya sering melihat lewat lubang pintu para pejuang, bergerilya melintasi depan rumah. Pengalaman itulah yang antara lain mempengaruhi perkembangan imajinasi saya, yang kemudian saya wujudkan dalam gambar.

Setelah perang usai, kami sekeluarga kembali ke rumah di Klaten. Meski sudah kembali ke Klaten, tetapi kondisi sosial ekonomi belum pulih. Waktu itu, tidak jarang kami hanya bisa makan jagung, nasi aking atau tiwul. Tidak jarang pula kami makan nasi jagung yang keras, sehingga membuat saya sering menangis karena rahang kesakitan saat mengunyah nasi jagung yang keras itu. Untuk melupakan perut yang kosong, ke­laparan, saya suka mencorat-coret tembok rumah dengan arang. Saya berusaha menggambar orang yang tengah berperang dan menggambar kereta api yang penuh penumpang. Kalau tembok sudah penuh dengan coretan gambar saya, yang menjadi tempat pelam­piasan saya adalah jalan aspal. Saya menggambar dengan menggunakan kapur tulis.
Melihat hal itu, ayah membuat papan tulis dari bekas jendela yang sudah rusak. Papan tulis itu diletakkan di teras rumah. Jadilah saya menggambar apa saja di papan tulis itu. Saya menggambar bintang­bintang film yang saya tonton di bioskop (Ayah bersahabat dengan seorang pemilik bioskop. la suka iseng ikut menjaga pintu bioskop, sehingga meski masih di bawah umur, saya bisa nonton bioskop apa saja. Misalnya, Tarzan, Batman, Superman, hingga film "Niagara" yang dibintangi oleh Marilyn Monroe). Bintang-bintang film itulah yang saya gambar di papan tulis, termasuk Marilyn Monroe. Gambar-gambar saya itu banyak menarik perhatian orang, termasuk anak-anak sekolah yang sewaktu pulang sekolah lewat di depan rumah saya. Itulah, pameran lukisan saya yang pertama!!!

"Pinaringan"
Memang luar biasa, ayah yang kejawen dan boleh disebut "wong kuno", sangat mendukung kegemaran saya. menggambar. Sementara, ada anggota keluarga yang menganggap bahwa pekerjaan gambar-menggambar itu tidak akan menjamin mass depan. "Kamu itu, pinaringan," kata ayah, "yang artinya diberkati Tuhan. Kalau kamu laksanakan dengan balk, akan bermanfaat dalam hidupmu."
Dan, ini bukan hanya kebetulan. Mungkin, ini yang namanya "jalan Tuhan". Oleh karena bisa menggambar, pendidikan formal SD, SMP, SMA bisa saya lalui dengan lancar, meskipun saya tidak pintar dalam berbagai pelajaran kecuali menggambar dan olah raga. Kesadaran akan pinaringan itu mulai terasa benar saat duduk di bangku SMPN I, pada tahun 1957. Guru kesenian saya, Bapak Mawaridi (alm) yang mengajar seni musik dan menggambar, setiap bulan memberi Surat pengantar kepada saya untuk diberikan kepada petugas tata usaha sekolah. Surat pengantar itu digunakan untuk mengambil sekotak cat air merek PDK, kuas, dan kertas gambar. Dengan perlengkapan itu saya diberi tugas membuat lukisan apa saja untuk hiasan sekolah.
Itulah, pameran lukisan saya yang kedua!!!
Apa yang terjadi saat itu, memberikan kesadaran bagi saya akan "harga" sebuah gambar. Dengan sebuah gambar pemandangan permintaan guru aIjabar, membuat saya tidak masalah dengan nilai aljabar, meskipun saya sungguh sangat bodoh dalam ilmu itu. Waktu itu, saya beranikan diri untuk mengirim gambar ke majalah berbahasa Jawa, Penyebar Semangat, yang terbit di Surabaya. Kemudian ketika sudah duduk di bangku SMA, saya membuat komik dengan cerita Perang Aceh di koran Suluh Indonesia, terbitan Jakarta, dan komik cerita Saijah dan Adinda di Pos Minggu, Semarang.
Hasil dari kegiatan saya itu, bisa membantu untuk membayar uang sekolah. Itu sangat bermanfaat karena memang kondisi perekonomian keluarga saya sangat pas-pasan.
Merasa Menjadi Seniman
Saat duduk di bangku SMP, saya bergabung dengan APIK (Angkatan Pelukis Indonesia Klaten), yang dipimpin oleh pelukis Sri Suharto (alm). Bersama dengan Mas Sujio, pelukis asal Klaten, saya dalam keseharian setelah pulang sekolah pergi membawa map berisi kertas buram, berjalan ke mana saja, termasuk ke pasar untuk membuat sketsa. Saat itu, dada saya membumbung, serasa sudah seperti seorang seniman. Hasil dari latihan membuat sketsa mass itu, sangat bermanfaat di kemudian hari. Saya jugs rajin mengunjungi pelukis nasional asal Klaten, Pak Rustamaji (aim). Waktu itu gays lukisan Pak Rustam banyak yang hiper-realis, yang ternyata sangat mempengaruhi lukisan saya mendatang.
Pada tahun 1960-an, dengan maraknya kegiatan LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dengan memasang poster-poster berukuran raksasa di tengah kota untuk kampanye politik, saya merasa tertantang. Saya kemudian menyaingi mereka dengan membuat poster berukuran raksasa pula yang digunakan untuk pentas drama teman-teman teater. Saingan saya tidak langsung waktu itu adalah guru menggambar saya sendiri sewaktu SMA. Meskipun kami berada di garis yang berlawanan, tetapi antara guru dan murid, kami tetap sangat bersahabat. Nasihatnya yang selalu saya ingat dan kenang adalah "Kita harus tidak bosan menggambar kapan saja, karena semakin lama, semakin tak terasa bahwa skill tangan akan bertambah terus."
Saya merasa sudah menjadi seniman. Apalagi, ditambah persahabatan saya dengan seniman-seniman seperti Agus Vrisaba, Deddy Sutomo, Arifin C Noer muda, dan WS Rendra muda, lengkaplah sudah dada membusung dengan pongah sebagai seniman tulen.
Jakarta Memanggil
Pada tahun 1966, setelah dua tahun di bangku kuliah ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) di Jogyakarta, sebuah kesempatan datang. Bersama teman-teman seangkatan, Pramono (kartunis), A Mathews (pelukis), Sri Hady (pelukis), saya diberangkatkan oleh ASRI ke Jakarta untuk bergabung dengan tim perancang diorama dalam pembangunan Monumen Nasional (Monas). Pembuatan diorama itu dipimpin oleh pelukis senior, Haryadi S (aim). Inilah perjalanan jauh pertama keluar dari kota kelahiran yang sangat saya dambakan!
Seiring dengan jatuhnya Bung Karno, proyek pernbangunan Monas pun terhenti. Beruntung kami bisa bergabung dengan group Dasa Ika Karya, 10 seniman di bawah pimpinan pematung nasional Saptoto (aim). Kelompok itu kemudian diterima untuk merancang Monumen Tujuh Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya.
Di Jakarta inilah saya mengenal dan bergaul dengan komunitas seniman yang ada di Balai Budaya dan Taman Ismail Marzuki (TIM). Pergaulan inilah yang membuat saya merasa menjadi pelukis dan aktif berpameran bersama pelukis­pelukis Jakarta. Waktu itu, belum ada dalam benak says untuk menjadi kartunis seperti sekarang ini. Bahkan, untuk biaya hidup di ibu kota, saya lebih banyak menulis cerpen, puisi, dan naskah drama radio.

Jalan Tuhan
Pada akhir tahun 1966, ayah saya tercinta berpulang. Karena dorongan perut, saya harus bekerja. Suatu hari, saat honor cerpen yang saya terima dari majalah Selecta, sudah tak ada lagi yang tertinggal di saku, sobat saya Yasso Winarto tiba-tiba membawa berita bahwa surat kabar Kompas sedang membutuhkan seorang illustrator. Maka pads akhir Maret 1967, berangkatlah saya ke kantor Kompas di Pintu Besar Selatan, dengan menempuh perjalanan sejauh sekitar 7 kilometer dari rumah tumpangan saya di kawasan Menteng. Jarak sejauh itu, saya tempuh dengan cara "ajaib", yakni jalan kaki!
Di kantor Kompas, saya langsung dites oleh Bapak PK Oyong (Pemimpin Umum Kompas pada waktu itu) sendiri, Dengan pulpennya yang bertinta hijau, Pak Oyong meminta saya agar menggambar di atas kertas gambar lebar, suasana penumpang pesawat terbang yang panik karena pesawatnya jatuh. Kebetulan waktu itu ada berita pesawat jatuh di daerah Mapanget, Sulawesi. Tes ini membuat saya berkeringat dingin, karena selama hidup belum pernah naik pesawat terbang.
Saya benar-benar hanya membayangkan suasana dalam pesawat terbang. Maka, jadilah gambar suasana di dalam pesawat terbang: orang panik! Dan, interior dalam pesawat terbang lebih mirip kereta api kelas ekonomi. Tetapi meskipun demikian, esoknya saya diterima untuk bekerja, dengan gaji pertama yang sungguh bagi saya suatu kemewahan yakni Rp 1.250!
Saya yakin, inilah jalan Tuhan, mengingat sejak SMP hingga SMA, saya memiliki pengalaman mengelola majalah Binding dan majalah sekolah. Dan akhirnya, bekerjalah saya di surat kabar!
Lahirnya Oom Pasikom
Sebagaimana berbagai surat kabar lain mempunyai tokoh maskot, misalnya tokoh Mang Ohle di harian Pikiran Rakyat, maka Kompas pun berkeinginan serupa. Bersama dengan salah seorang reclaksi yang sudah senior, Bapak J Adisubrata, saya berdiskusi untuk menciptakan tokoh maskot bagi Kompas. Beberapa kali dalam diskusi itu, kami menyebut kata "si kompas", dan akhirnya kami temukan kata "pasikom". Saya ingin, tokoh ini nantinya adalah seorang tokoh di atas angin, yang tidak ikut golongan Angkatan 45, atau Angkatan 66. Karena itu, tokohnya haruslah menjadi cermin orang yang sudah cukup umur. Jadilah tokoh OOM PASIKOM, yang gemar berbahasa Belanda, dan lebih senang memakai jas meskipun tam­balan daripada batik. Sedangkan raut wajahnya secara tidak sengaja saya ambit dari raut muka Pak Adisubrata!
Semula Oom Pasikom, yang mulai tampil pada bulan April 1967, lebih banyak sebagai humor belaka, tanpa kritik sosial. Waktu itu , teknik gambar-menggambar pun masih terbatas yakni menggunakan teknologi "cetak tinggi" dengan menggunakan klise timah. Oleh karena itu, selain kemampuan menggambar kartun saya masih terbatas,  garis-garis kartun pun masih sangat sederhana. Percetakan offset barn ads pads tahun 1972.
Oom Pasikom secara perlahan berubah menjadi "editorial cartoon". Menjelang Pemilu 1971, Oom Pasikom tampil di Kompas. la tampil berjalan di bawah curah hujan. Sewaktu, menjilat air hujan, is berujar air hujan terasa kecap, padahal musim kampanye belum tiba. Komentar itulah yang membuat marsh golongan partai terbesar waktu itu.
Hal itu menyadarkan saya, bahwa saya bisa berbuat sesuatu dengan kartun!
Menjelajah Mata Angin
Kompas bagi saya bukan hanya nama surat kabar di mana saya menggadaikan hidup, melainkan jugs sebagai penunjuk mats angin. Hanya dengan bermodalkan kemampuan gambar­menggambar, saya berusaha keras untuk membuat kartun walau dengan susah payah. Kartun harus saya bust, mengingat kartun adalah pelengkap surat kabar. Banyak yang saya pelajari dari berbagai arch dan cumber untuk membuat kartun itu.
Dalam membuat "editorial cartoon"yang banyak bermuatan komentar dan kritik, persoalan sulit yang saya hadapi adalah bagaimana menampilkan hat tersebut dalam bentuk gambar dan disampaikan dengan balk. Itulah persoalan awal saya. Sampai kemudian, pads tahun 1970-an, saat menyampaikan sebuah kartun yang keras kepada Bapak Jakob Oetama, Pemimpin Redaksi, saya memperoleh sesuatu pegangan. Saat itu,
Pak Jakob mengatakan "Tugas pers bukan untuk mengubah pendapat orang lain, bukan untuk mendobrak atau revolusi, melainkan untuk menyampaikan mini perbaikan." Ucapan Pak Jakob itulah yang sampai sekarang saya pegang sebagai kredo dalam membuat kartun.
Mungkin untuk membuat saya agar lebih berwawasan kesenirupaan, Pak Ojong memerintahkan saya untuk banyak mengunjungi pameran lukisan dan mulai memilih karya seni yang akan dikoleksi Kompas. Dan jadilah, mulai tahun 1971, kami berburu lukisan, barang antik, dan karya seni lainnya. Kegiatan ini membuat saya banyak bergaul dengan berbagai kalangan seniman dan banyak melakukan perjalanan ke berbagai daerah di negeri ini. Dengan banyak melakukan perjalanan ini, sebagian obsesi saya sejak kecil, pergi ke dunia di batik cakrawala, mulai terlaksana.
Membuat kartun politik, dibutuhkan mampu membaca tanda-tanda yang terjadi di masyarakat. Yakni, terutama tanda-tanda dalam kehidupan politik maupun tindakan atau ungkapan para pejabat yang kits ambit maknanya untuk mencari ide dan komentar dalam bahasa kartun. Dalam ilmu komunikasi yang disebut "semiotika" itu, mungkin secara tidak sengaja saya peroleh dari perkenalan saya dengan MAW Brouwer (alm), kolumnis yang banyak menulis artikel satire di Kompas. Dalam membuat ilustrasi untuk artikeinya, saya hanya menangkap pesannya, kemudian saya membuat kartun yang seakan bukan ilustrasi melainkan kartun yang berdiri sendiri dengan makna yang sama.
Karya kartunis-kartunis senior, seperti Sam Suharto dari surat kabar Indonesia Raya, Sibarani dari Bintang Timur, banyak mempengaruhi saya dalam cara menyampaikan kritik lewat metafora dari terra dengan tajam dan lucu. Goresan garis yang hemat dan efektif karya kartunis Bandung, seperti T Sutanto, Sanento Yuliman, dan Haryadi S, yang muncul di Mingguan Mahasiswa edisi Bandung, pada hari akhir-akhir Orde Lama sampai tahun-tahun permulaan Orde Baru, juga sangat saya kagumi.
Selain itu, saya juga banyak memperoleh pelajaran dari karya jurnalistik yang disampaikan oleh wartawan senior Kompas. Misalnya, Threes Nio (almh). Sewaktu saya konsultasi dengannya menyangkut masalah ekonomi yang akan saya komentari, dia mengatakan bahwa kartunis itu seperti wartawan, harus tahu banyak meskipun sedikit-sedikit. Selain itu, harus ada pula kontak personal dengan pembaca dan "pengagum." Hal itu merupakan
bagian yang menclukung semangat, kreativitas, dan menjadi sumber bursa ide dalam menciptakan kartun yang sarat kritik dan humor.
Menjelajah mats angin yang sebenarnya, banyak saya peroleh dari Kompas. Dalam perjalanan kerja atau memenuhi undangan ke luar negeri, sepertinya saya diizinkan oleh Kompas untuk melampiaskan obsesi melihat dunia di ujung rel di batik cakrawala, dengan menambah kunjungan ke negara lain, selain negara tujuan utama.
Perjumpaan saya dengan para kartunis kenamaan luar negeri, dalam lawatan yang kebanyakan dalam rangka pameran dan seminar kartun internasional tersebut, semakin meyakinkan diri bahwa selain bisa menambah wawasan, juga benar-benar merupakan jalan Tuhan . Jalan yang harus saya tempuh dalam hidup ini, melalui kartun.

Ketidakberdayaan Menghadapi Kekuasaan
Setelah era eforia Orde Baru usai, dari kacamata kartun ada banyak pengalaman yang tidak terduga muncul di hadapan saya yang membuat saya terkesima. Rasa optimisme yang meluap-luap pads awal Orde Baru menjelma menjadi selain harapan baru juga persoalan baru dan kekecewaan baru. Tekanan terhadap pers yang berupa SIT (Surat Izin Terbit) dan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), yang ujung-ujungnya pembreidelan, sangat terasa akibatnya untuk kartun.
Eufimisme, hati-hati, tidak sarkastis, tidak "to the point", tepo seliro, ngono yo ngono Hanging ojo ngono adalah "pedoman" saya dalam menyampaikan kritik lewat kartun. Jangan mengatakan maling kepada maling, melainkan sebut saja "orang yang mengambil milik orang lain tanpa izin", misalnya. Tetapi, hal itu bagi saya bukan kendala, melainkan membuat saya lebih kreatif dalam menyajikan kritik.
Dari pengalaman selama ini, di mans kadar humor juga menjadi muatan utama kartun, ada cars menyampaikan kritik lewat kartun supaya aman dan sejahtera. Yakni, kartun hares membuat senyum. Senyum untuk yang dikritik, supaya tidak marsh dan mau membaca koran kita. Kalau tidak bisa membuat senyum, artinya misi tidak sampai. Bahkan, koran kita bisa tewas, karena dia berkuasa untuk menutup koran. Senyum untuk masyarakat yang terwakili aspirasinya, dan senyum untuk kartunisnya karena tidak takut ditangkap! Memang absurd! Tetapi, ini yang membuat dunia kartun tetap hidup di negara kita.
Hasilnya? Ada juga, meskipun peranan kartun lebih merupakan pembuka katup-katup tekanan sosial. Kekecewaan masyarakat terhadap keadaan, bisa dibikin legs dan terhibur oleh humor dalam kartun. Tetapi kartun juga lebih sebagai vermin ketidakberdayaan kita menghadapi kekuasaan atau penguasa. Bahkan lebih untuk menertawakan nasib diri sendiri. Misalnya, ribuan kali kita menyampaikan kritik tentang korupsi dan birokrasi, hasilnya tetap saja: banyak korupsi dan bahkan berkembang.
Memang, kartun hanya untuk menyampaikan misi perbaikan. Masalah ada perbaikan atau tidak, bukan tanggung jawab kartunis. Kartun hanya sebagai anjing yang menggonggong kalau ada sesuatu yang tidak beres, kata. Oliphant, kartunis kenamaan dari Amerika Serikat. Dengan kartun, kits hanya berteriak dalam bisikan, yang mengutarakan bahwa kita belum terlambat untuk memperbaiki, kata Prof Yasuo Yoshitomo, kartunis senior dan guru besar Departemen Kartun, Universitas Seika, Kyoto, Jepang.
Dan kalau kits amati, sejak Orde Lama, Orde Baru sampai Orde Reformasi, adalah sebuah kenyataan sikap para pemimpin bangsa seperti siklus, yang selalu berulang. Setiap kali sampai ke puncak kekuasaan, sepertinya mereka enggan menerima kritik pers.
Dalam menghadapi kritikan pers, Presiden Soekarno mempunyai senjata yakni batik melemparkan tuduhan kontrarevolusi, antek imperialis atau Manikebu. Presiden Soeharto menggunakan SIT, SIUPP, dan ancaman breidel. Kepada para pengritik, is memiliki ucapan yang sangat terkenal, "merasa bisa, tapi tidak bisa merasa." Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, menuduh pers suka memelintir berita. Presiden Megawati Soekarnoputri, merasa dipojokkan oleh pers. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengimbau pers jangan suka memperolok bangsa. Sedangkan Presiden Habibie, meski hanya beberapa bukan memangku jabatan sebagai presiders, lebih suka bagi-bagi bintang jasa kepada rekan-rekannya, bahkan juga kepada orang "terdekatnya."
Jadi, bukankah hal ini juga mencerminkan kits bahwa kita sebetulnya hanyalah sebagai Don Quishote yang melawan kincir angin?
Menuju Cakrawala
Kartun memang tak lepas dari topik hangat yang sedang terjadi, sehingga bisa clikatakan kartun adalah sejarah dan cermin zamannya. Ide metafora terhadap terra dalam bentuk gambar, setelah dikemas humor, jadilah kartun. Bahkan kadar muatan humor-lah yang paling dominan. Sementara hingga kini, kartun tetap menjadi salah satu menu utama media massa. Sepertinya, memang, "humor akan membuat bumf terus berputar." Dan, kehidupan kartun akan terus berkembang, sejalan dengan berkembangnya kedewasaan kita untuk menerima kritik dan menertawakan diri sendiri. Begitu pula kehidupan profesi kartunis.
Selama ini, telah 40 tahun saya menggadaikan hidup pads kartun. Perjalanan hidup sebagai kartunis ini, semua karena pinaringan bakat gambar-menggambar. Selain itu, ditambah lingkungan tempat bekerja saya yang sangat mendukung, dan kesempatan baik yang datang.
Keadaan dan situasi seperti itu, membuat banyak penghargaan singgah, baik dari dalam maupun luar negeri. Penerbitan buku ini juga merupakan penghargaan tersendiri bagi saya.
Sementara prang mengatakan bahwa sebuah penghargaan adalah menanclakan puncak pencapaian, tetapi sebenarnyalah, penghargaan adalah sebuah tanggung jawab untuk masa mendatang. Penghargaan bukan puncak, melainkan jalan lebih menanjak, yang harus kita tempuh dengan menitinya lebih hati-hati, supaya tidak "tergelincir."
Dan, perjalanan hidup dalam kartun, yang harus saya tempuh ini, masih sangatlah jauh. Karena masih ada perjalanan lain yang harus saya tempuh yakni, perjalanan menuju dunia lain di balik cakrawala!
Source:
Dikutip dari sebagian buku “40 tahun Oom Pasikom” – Peristiwa dalam Kartun Tahun 1967-2007 oleh GM Sudarta; atas saran GM Sudarta sendiri.

0 comments:

Post a Comment