Friday, December 30, 2011

(Interview) Arwah Setiawan Talked About Srimulat




Arwah Setiawan tentang Srimulat


DI kalangan pencinta humor maupun para humoris, nama Arwah Setiawan*) sangat akrab. Figur yang satu ini, setidaknya bisa dibilang sebagai orang Indonesia “pertama” yang menyadari perlunya mendekati humor maupun berbagai gejala seputar humor dengan jurus-jurus ilmiah.
Maka tak aneh, ia kemudian mendirikan Lembaga Humor Indonesia (LHI) yang berkedudukan di Jakarta. Mengadakan serangkaian kegiatan yang di dalamnya sarat bernafaskan humor. Satu ciri yang menandai upayanya adalah munculnya corak humor jenis baru atau bernada subversif, eh, revolutif. Sehingga dibanding dengan corak-corak yang ada sebelumnya, corak humor yang lahir dari konsep Arwah Setiawan, sangat tampak perbedaannya.
Seperti misalnya ketika pada awal “operasi”-nya, LHI pernah mementaskan wayang humor dengan lakon “Ratu Jadi Petruk”. Kemudian ketika ia menjadi pengasuh majalah humor Astaga, banyak orang mengakui bahwa humor-humor yang lahir dari majalah itu masuk kategori humor bermutu. Terutama pada awal-awal edisinya.
Maka tak aneh, eksistensi seorang Arwah Setiawan sebagai konseptor maupun pengamat, sulit dicari tandingannya. Menurut pengakuannya, hingga kapan pun tak mungkin ia menjauh dari humor, karena humor merupakan salah satu iman hidupnya.
Berbagai jabatan pun pernah dipegangnya, baik ketika bekerja di USIS (Kedutaan Besar Amerika) maupun ketika mengelola majalah sebagai pemimpin redaksi. Bahkan salah satu kejutan yang sempat dibuatnya, ia pernah duduk sebagai redaktur pelaksana sebuah majalah paling serius di Indonesia, yakni majalah sastra Horison. Lalu bongkar pasang terus. Terakhir ia berkantor di Citra Audi Vistama (pelayanan profesional media audiovisual) sebagai kepala divisi kebudayaan, sementara yang duduk sebagai direktur utama perusahaan ini adalah Dwi Koendoro, kartunis jempolan Indonesia yang sering diidentikkan dengan Panji Koming.
Tulisan ini merangkum serangkaian wawancara dengan Arwah Setiawan di beberapa tempat dengan waktu nyaris tak terbatas. Baik ketika berlangsung di Wisma Seni TIM, Jakarta; di kantor Citra Audivistama; maupun ketika penulis berkesempatan menginap di rumahnya.
Salah satu isu yang cukup menarik belakangan ini, sekitar dunia perlawakan di Indonesia, tampaknya menjadi salah satu sentral perhatiannya; yakni, tentang Srimulat.
Tanya: Apa pendapat Anda tentang gejala yang ada di tubuh Srimulat (terutama unit Jakarta), apakah itu suatu indikasi kemunduran, kemandegan atau justru kemajuan?
Jawab: Tampaknya sulit mengelak untuk tidak mengatakan bahwa di tubuh Srimulat memang sedang menunjukkan gejala-gejala yang menuju ke arah kemunduran, sebagaimana yang diramalkan banyak orang. Karena orang dengan mudah mendeteksi tanda-tanda krisis itu; misalnya dengan gencarnya para pemain andalan (top star) yang keluar dari Srimulat. Karena dengan demikian nilai selling point dari produk yang akan dijual ke masyarakat mau tidak mau memang mengalami semacam penyusutan. Tetapi bagi saya, persoalannya tidak sesederhana itu. Ada masalah-masalah tertentu yang saling berkait sehingga sebagai sebuah gejala, keadaan yang ada di tubuh Srimulat itu banyak menyiratkan pelajaran berguna yang bisa dipetik oleh para pelawak maupun grup lawak lainnya.
T: Apa saja misalnya?
J: Saya melihat ada tiga masalah atau sebab-sebab mengapa Srimulat mengalami apa tadi? Oh ya, kemunduran (konon). Mungkin pula problemnya sama. Tidak hanya di Jakarta, tapi di unit-unit lainnya, seperti misalnya di Semarang, dan di Surabaya. Tiga masalah tadi, atau tiga faktor tadi menurut perkiraan saya, pertama faktor keseniannya itu sendiri. Jenis atau pola lawakan Srimulat itu berakar pada lawakan tradisional. Terutama dari segi bahasa, sehingga yang diungkapkan adalah lawakan kata-kata yang memakai dasar bahasa Jawa. Makin lama, Srimulat seperti dituntut untuk mengimbangi kebutuhan masyarakat yang lebih modern dan kosmopolitan. Kosmopolitan dalam arti bahasa itu bisa menjangkau atau punya nilai komunikasi luas. Lalu idiom-idiom tertentu, yang harus diadakan pergeseran, termasuk di antaranya subject matter-nya. Ini tidak otomatis bisa tumbuh hidup dan enak. Tidak otomatis para pemain bisa mengimbangi tuntutan tersebut. Akibatnya, bagi para pemain yang tidak bisa, tentu saja tidak menarik bagi para penonton.
Kedua, di bidang manajemennya, yang bermula dari corak non manajemen, artinya bertumpu pada sebuah figur god father atau seorang bapak, di mana ikatan anak buah terhadap atasannya lebih bersifat primordial loyality, atau loyalitas yang tidak saklek. Ikatan batin. Hal ini dengan makin terkenalnya Srimulat, maka Srimulat dituntut untuk otomatis mengorganisasi. Adanya penataan yang lebih sistematis dan kemudian manajemen keuangan. Ini tentu saja membutuhkan kiat atau ilmu tersendiri. Apalagi lokasinya semakin tersebar, Surabaya, Solo (dulu) dan kini Semarang serta Jakarta.
Dengan adanya kenyataan demikian, sistem ketergantungan terhadap seorang bapak, kurang relavan lagi. Paling tidak dituntut untuk mengadakan semacam pembagian tugas, pendelegasian. Kebetulan orang-orang yang terpilih untuk ini kebanyakan ipar-ipar Pak Teguh sendiri, dan mungkin bagi para pemain, sentuhan kepemimpinannya lain dengan yang dahulu ketika langsung ditangani Pak Teguh, sehingga agak menimbulkan rasa tidak puas dan sebagainya. Dengan kata lain, di bidang manajemen itu mengalami kemerosotan.
Ketiga, faktor yang ditentukan oleh hal-hal yang lebih bersifat ekstern. Misalnya soal job-job yang ditawarkan kepada para pemain/pelaku dengan imbalan yang lebih menarik dari segi finansial. Dengan adanya tawaran demikian, secara tidak sengaja lalu tumbuh semacam super starism. Lalu tercipta semacam level. Dan bagi para super star tadi setidaknya juga tergoda oleh keinginan untuk bisa memperoleh in come yang lebih. Dengan adanya pola manajemen yang kurang memuaskan, maka kenyataan ini merangsang bagi para “jagoan” tadi untuk keluar dari Srimulat. Ini merupakan salah satu contoh bentuk evolusi dari sebuah forma paguyuban (guyub) menjadi forma administratif. Sikap-sikap primordial loyality lama kelamaan makin terkikis oleh sikap yang lebih modern.
T: Namun demikian, salah satu kenyataan yang ada, para super star yang mencoba mandiri di luar dari Srimulat, ternyata toh tak juga menunjukkan kepesatan kemajuan. Malah beberapa di antaranya justru semakin tak jelas sosoknya. Mengapa bisa demikian?
J: Menurut saya, Pak Teguh memang sengaja mengemas Srimulat dengan versinya yang khas. Dan para super star yang keluar dari Srimulat banyak yang tidak menyadari, bahwa yang membuatnya hebat adalah sistem atau iklim yang ada di Srimulat itu sendiri. Bukan semata-mata capability atau kemampuan yang ada padanya.
T: Menurut Anda, apakah Srimulat (dalam semua unit) masih ada kans untuk mengawali masa kejayaannya lagi atau justru sedang siap-siap untuk pamit pada para penggemarnya?
J: Langkah-langkah yang bisa diambil, artinya secara teoritis. Apakah akan dilakukan atau tidak saya tidak tahu, andaikata akan dilakukan pun rasanya juga tidak mungkin. Salah satu hal yang menurut saya vital dilakukan adalah menaikkan penghasilan mereka. Atau paling tidak meskipun tidak sama dengan tarif job yang ada di luar, ya mendekati begitu. Hal ini dengan konsekuensi penonton juga harus meningkat. Ini bisa atau tidak? Langkah-langkah lain misalnya, Srimulat tak perlu mengadakan pengkaderan dengan cara mengambil pelawak-pelawak yang belum jadi. Andaikata akan diadakan pengkaderan pun seyogianya mengambil pelawak yang sudah jadi atau setengah jadi, sehingga upaya untuk menstabilkan citra atau selling point itu tidak perlu menunggu waktu yang terlalu lama. Misalnya mereka ambil Warkop, Jayakarta dan sebagainya. Bukan sebagai bintang tamu, tetapi sebagai karyawan. Jadi fungsi Srimulat sebagai label atau nama performance (di bidang karya grafis mirip fungsi syndicate; dms). Atau bila itu terlalu sulit, bikin saja dengan tidak berpretensi melayani penonton yang kosmopolitan. Kembali lagi dengan pola lawakan Srimulat semula. Yang menggunakan bahasa Jawa. Tentu saja dengan risiko cuma menjangkau khalayak yang lebih sempit. Atau ditinggalkan oleh penonton dari kalangan menengah ke atas.

T: Misalnya mengupayakan semacam pola lawak yang mengandung unsur eksperimental dan sebagainya, apakah ini bukan semacam nilai lain atau alternatif lain yang bisa ditawarkan agar membuat Srimulat bisa dilirik orang lagi?
J: Kalau melayani masyarakat kosmopolitan atau modern memang perlu. Tetapi kalau mengingat nilai instrinsik mereka apa bisa? Kalau saya melihat Srimulat, semuanya itu polanya Pak Teguh semua, ya begitulah Teguh. Media ekspresinya, maupun mimbar bagi kreasi-kreasinya.
T: Tentang perlawakan Indonesia, apakah Anda melihat sesuatu yang baru dan layak dilirik pada periode setengah dasa warsa ini?
J: Secara umum, belum ada yang begitu kuat dan menonjol. Itu bila meninjau lawak dari segi keseniannya. Tetapi dari segi hiburannya, banyak juga grup lawak yang cukup eksis di masyarakat.
T: Obsesi Anda tentang seni lawak Indonesia?
J: Adanya kesadaran menggali dan menampilkan hal-hal baru. Sehingga lawak tak sekadar sebagai ekspresi hiburan semata, tetapi seyogianya ada tanggung jawab berkeseniannya. Dan bila esensi ini dilakukan betul, barangkali orang baru sadar bahwa lawak atau humor itu benar-benar serius. (Darminto M Sudarmo)

*) Saat wawancara Arwah Setiawan masih hidup; beliau meninggal tahun 1995.

0 comments:

Post a Comment