Membedah Anatomi Kerja Kartunis
Catatan:
Menikmati
kartun yang sudah jadi memang mengasyikkan; tetapi tahukah kita
bagaimana ketika sang kartunis menghadapi kertas kosong dan otaknya lagi
blank, tidak ada ide sama sekali? Apa yang harus dilakukannya? Dari
diskusi di bawah ini mungkin akan Anda dapatkan jawabannya. Di balik
setiap kartun bagus, selalu ada literature yang mem-back up kinerja sang
kartunisnya.
SEMINGGU sebelum acara diskusi kartunis (Lektur Terbuka: Kartunis dan Tugasnya oleh GM Sudarta dan Lat)
di Taman Ismail Marzuki, 12 Juli 2003, saya didaulat kartunis Pramono
(Ketua Umum Pakarti -- Persatuan Kartunis Indonesia, waktu itu) agar
bersedia memandu acara diskusi tersebut, disponsori oleh Pusat
Kebudayaan Jepang, Jakarta. Bagaimana mungkin saya dapat menolak
“perintah” beliau, salah seorang tokoh kartunis
senior negeri ini, apalagi bila itu ada kaitannya dengan sebuah momentum
yang menarik; yakni bertemunya dua figur maestro kartunis Indonesia dan
Malaysia , GM Sudarta dan Lat, yang seingat saya baru pertama kali dipertemukan dalam sebuah forum di Indonesia.
Gairah
budaya pun semakin tumbuh, apalagi bila mengingat Indonesia sedang
dilanda berbagai arus kepentingan yang membuat pening kepala, geli hati
sekaligus jengkel karena UU Pilpres, Susduk, Hak DPR untuk menyandera,
dan lain-lain yang begitu naïf, ternyata bisa terjadi dan memang
benar-benar terjadi.
Saya
pun bersiap-siap mengumpulkan joke-joke “maut” agar dalam pelaksanaan
diskusi dapat diarahkan ke suasana yang lebih “pedas” tapi segar dan
eliminatif.
Harapan saya, kendati hanya berlangsung selama dua jam saja,
pertemuan dua jagoan itu bisa menjadi katarsis bagi semua yang hadir.
Sejenak melupakan proses sejarah yang gerah, yang terjadi di negeri ini.
Tambahan lagi, diskusi yang bertajuk: Kartunis dan Tugasnya
bukankah tergolong tema ringan dan pasti akan penuh dengan canda dan
derai tawa. Bayangan lucu yang terproyeksi dalam kepala saya, pasti para
kartunis akan menjawab sambil berseloroh, “Tugas kartunis apa lagi?
Tentu saja mencari nafkah buat keluarganya”. Hadirin yang kaget akan
merespon jawaban itu dengan gelak tawa dan tepuk tangan; betapa mewahnya
bila suasana seperti itu bisa terjadi.
Logika seperti ini pula yang pernah dipakai Arswendo Atmowiloto, ketika menangkis pertanyaan secara ndugal,
mengapa gerakan sparatisme di Indonesia marak, bukan saja di Aceh,
Maluku tapi juga di Papua? Jawaban Arswendo, PDI-P-lah yang harus
bertanggung jawab, jelas-jelas Indonesia sudah lama merdeka, mengapa
partai itu selalu meneriakkan yel-yel, “Merdekaaaa…Merdekaaaa!!!”
Arswendo
memang Arswendo. Untuk mengamankan pernyataannya yang rada ndugal itu,
dia berlindung di balik predikatnya sebagai seorang guyonis. Guyonis?
Istilah gendeng apa pula ini? Tapi secara gramatika, tidak salah.
Guyon itu kata benda dan akhiran is, tak mau kalah dengan humoris,
kartunis, lengkap kan edan-edanannya?
Maka, seperti yang sudah dijadwalkan, diskusi tentang kartun dan kartunis itu pun terjadilah…!
***
GM Sudarta, seperti yang sudah diduga, tampil piawai sebagai story teller
yang memikat, runtut, terutama ketika menyampaikan “makalah”-nya berupa
tumpukan gambar karikatur mahasiswa-mahasiswa Bandung pada tahun-tahun
sekitar 1965-an, sesekali muncul leluconnya yang inspiratif, dan tetap dikemas dalam bingkai elegan. Lat yang tampaknya pendiam dan angker, setelah berbual-bual
(berbicara) secara lugas, apa adanya, barulah muncul sepenggal demi
sepenggal leluconnya. Hampir semua yang dia sampaikan berdasar
pengalaman nyata. Namun disusun secara bersilang tumpang sehingga setiap
terjadi persinggungan logika, selalu muncul sesuatu yang mengagetkan
dan menimbulkan tawa.
Persoalannya
kemudian, diskusi tumbuh tidak sekadar mengobral tawa dan katarsis.
Joke-joke maut yang sudah saya siapkan pun akhirnya tak relevan
dimunculkan karena suasana telah berkembang sebagaimana yang dikehendaki takdir.
Inti dari “makalah” GM Sudarta yang menggambarkan keberanian para
kartunis (mahasiswa) saat itu yang demikian telak dan langsung membidik
sasaran atau obyek, yakni Bung Karno, sebagai symbol rezim Orde Lama dan
mendukung secara eforia kelahiran Orde Baru, pada akhirnya membuat para
kartunis itu harus terkecoh, karena rezim yang baru pun, secara pelan
tapi pasti mulai memasung kebebasan yang semula dijanjikan semanis madu
itu. Pesta demokrasi pun usai sejak awal tahun 1980-an hingga Rezim
Soeharto tumbang, 1998.
Fakta
itu mengingatkan saya pada buku “Catatan Seorang Demonstran” karya Soe
Hok Gie. Salah satu pernyataan Soe Hok Gie, yang juga hasil mengutip
dari intelektual asing, (maaf, saya tak ingat namanya), seorang
cendekiawan dilahirkan untuk memusuhi rezim yang korup; setelah rezim
yang korup tumbang, maka akan muncul rezim baru. Rezim baru tak lama
kemudian juga korup, sang cendekiawan pun memusuhi rezim yang baru.
Demikian seterusnya. Maka takdir seorang cendekiawan akan selalu
sendirian dan selalu sendirian dalam rezim yang bagaimana pun.
Sementara
itu Lat banyak bercerita tentang dirinya yang tak berkantor di
mana-mana, tetapi bekerja di rumah sebagai kartunis untuk harian New Straits Times,
Malaysia. Seminggu tiga kali. Sebulan rata-rata 12 karikatur.
Gambar-gambar itu juga dikirim via email, sehingga Lat tak perlu hadir
di kantor koran tersebut. Setelah berpuluh-puluh tahun malang-melintang
di Kuala Lumpur, Lat merasa perlu balik ke kampung, Ipoh, untuk
berbagai alasan. Di antaranya adalah memberi ruang bagi kemunculan
kartunis-kartunis muda dan yang jelas suasana di kampung lebih nyaman:
udara jauh lebih sehat dan sosialisasi dengan warga lebih hangat;
mungkin spirit kemanusiaan dan ketulusan lebih terasa daripada di kota.
Sesuatu yang menggembirakan, di
luar dari proyeksi nakal saya, diskusi dua jam itu tak sengaja dapat
menghadirkan simpul-simpul penting mengenai sosok manusia yang bernama
kartunis. Khususnya yang berkaitan dengan sistematika berpikir, proses
kreatif dalam berkarya, metodologi kerja dan motivasi pilihan profesi.
Dari simpul-simpul tersebut bila disederhanakan, dalam diri seorang
kartunis (tak peduli apakah ia seorang gag cartoonist, social cartoonist maupun political cartoonist) terdapat tiga elemen kompetensi yang satu dengan lainnya saling terkait.
Elemen
pertama, kompetensi di bidang teknis/artistik; seorang kartunis dengan
sendirinya memiliki kemampuan teknis menggambar yang memadai. Dengan
kata lain bila ia menggambar seekor kuda, maka siapa pun yang melihat
gambar itu akan mengatakan itu gambar kuda. Bukan kerbau, sapi atau
jerapah. Bila seorang kartunis bermaksud menggambar kuda, tetapi yang
tampak oleh orang banyak bukan gambar kuda, maka si kartunis dianggap
gagal berkomunikasi. Itu sama dengan dia belum memiliki kompetensi di
bidang teknis/artistik. Dan komunikasi kepada publik akan semakin kacau
bila ternyata dari gambar yang menyimpang itu ketambahan lagi dengan
kata-kata, bayangkan, betapa carut marutnya kemungkinan komunikasi yang
bisa terjadi kemudian.
Elemen
kedua, kompetensi di bidang pengamatan (jurnalis, kolomnis, penulis,
cerdik cendekia, ilmuwan dan sebagainya); seorang kartunis dengan
sendirinya adalah seorang yang memiliki kemampuan dalam mengamati
berbagai masalah secara cermat dan akurat. Khususnya menyangkut detil
dan substansi. Setelah diendapkan beberapa saat, kemudian ia membuat
analisa-analisa. Membuat pertanyaan dan asumsi. Bahan berupa analisa ini
untuk sementara dibiarkan menggantung menunggu proses yang ketiga.
Elemen
ketiga, kompetensi di bidang lelucon (humoris/kreatif); seorang
kartunis dengan sendirinya adalah seseorang yang memiliki sense of humor
yang baik dan mampu menghasilkan lelucon yang baik pula; ia mampu
melihat persoalan dari sudut pandang yang beda daripada masyarakat umum.
Beda dalam konteks ini tidak sekadar lain, namun beda yang memiliki
sejumlah alasan yang dapat dibenarkan. Seperti karikatur karya GM
Sudarta (Lihat Kompas, 12 Juli – 2003), seorang narapidana
berpakaian loreng duduk di singgasana nomor satu negeri ini dengan
senyum lugu dan wajah tak berdosa. Proyeksi karikatur yang nyeleneh dan
mengagetkan itu, tidak sekadar beda tapi berlandaskan alasan-alasan yang
reasonable. Bila kurang jelas, buka UU Pilpres.
***
DI
sisi lain, banyak rekan wartawan yang dengan penasaran mempertanyakan
tentang sosok yang bernama kartunis itu. Bila dilihat sekilas
performance mereka tenang, kadang justru cenderung pendiam, bahkan ada
yang sangat pemalu, tidak suka sosialisasi dengan orang-orang yang belum
dikenalnya secara mendalam. Tetapi ketika tiba giliran mereka
menggambar kartun, di situlah muncul ide-idenya yang edan dan
ugal-ugalan. Ada virus apa sebenarnya di otak kartunis itu? Pertanyaan
bernada seloroh ini mudah-mudahan agak terjawab oleh asumsi tiga elemen
di atas.
Bila dipikir-pikir, demikian seorang teman kartunis ngudarasa,
mungkin masih lebih enak menjadi pelukis. Tugasnya adalah melukis.
Boleh tidak peduli pada masalah-masalah terkini yang lagi hangat atau
sudah basi. Boleh melukis yang obyeknya tidak
harus lucu; sebaliknya, bebas mengungkapkan hal yang membuat orang
bersedih hati. Begitu juga dengan jurnalis, kolomnis, penulis, cerdik
cendekia, ilmuwan dan sebagainya. Boleh bekerja dalam jalur job-nya
tanpa perlu harus pintar menggambar atau melucu. Tak terkecuali pelawak
atau humoris, tidak perlu harus pintar menggambar. Bukankah itu berarti,
bahwa secara esensial, kerja sebagai kartunis adalah kerja yang tidak
ringan. Ia harus menggabungkan sedikitnya tiga kompetensi sekaligus, sebagaimana dijelaskan di atas.
Mengingat
keadaan ini, saya sering bertanya-tanya dalam hati, inikah yang menjadi
penyebab mengapa jumlah kartunis negeri ini dari waktu ke waktu terus
menyurut? Apalagi bila dibandingkan dengan jumlah pelukis, yang angkanya
dari waktu ke waktu justru makin bertambah. Catatan sementara yang ada
pada saya, para kartunis yang tidak pernah lagi mengartun di antaranya
adalah: Harmoko, Harry Pede, Oet, Tris Sakeh, SNS, Meru Sudarta, Julius
Pour, T. Nurjito, Gun R, Mr. Zaggy, Jaya Suprana, Ramli Badrudin,
Basnendar, Anwar Rosyid, Odios (saya sendiri), dan masih banyak rekan
lain di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang,.Solo, Surabaya dan Bali
yang namanya tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Sementara
itu kartunis-kartunis Indonesia yang masih setia berkarya, mungkin
cukup banyak, namun relatif sedikit bila dibandingkan jumlah
pelukis/perupa yang tumbuh di negeri ini. Trio jagoan Indonesia yang
sudah tidak asing lagi dan belum tergoyahkan eksistensinya adalah: GM
Sudarta, Dwi Koendoro dan Pramono. Ada satu kartunis kawakan, yang lebih
senior dari mereka bertiga, kendati tidak spesifik memiliki media
(terutama di zaman Orde Baru) namun tetap berkarya, yaitu Sibarani.
Almarhum Arwah Setiawan menempatkan Sibarani sebagai salah satu sosok
karikaturis paling fenomenal pada zamannya.
Dari
angkatan yang lebih muda lagi, memang terdapat nama-nama seperti:
Non-O, Gesi Goran, Gatote, Rahmat Riyadi, T. Riyadi, tetapi nama-nama
seperti Priyanto S dan T. Soetanto dari Bandung yang karyanya banyak
merajalela di media Jakarta, siapa bisa menafikan kehadiran mereka? Di
kawasan lain, kartunis Jitet Koestana yang sering menang lomba di luar
negeri, Jango yang punya komunitas penerbitan kartun (humor) di Bali,
Tony Tantra yang terus berkarya dalam kemisteriusannya, M. Najib, yang
lugu dan lucu seperti “Inul”, Ifoed yang rajin mengembangkan kartun ke
advertensi, adalah fenomena-fenomena baru yang tak dapat dianggap enteng
kiprahnya. Dalam perkembangannya, kartun ternyata tidak hanya menjadi
warga dari seni grafis. Ia kini telah berkembang ke seni hias kaos,
interior, instalasi, animasi dan bukan tak mungkin bermutasi ke seni
murni.
***
PADA akhirnya, baik GM Sudarta maupun Lat
yang siang itu 12 Juli 2003 menjadi “ayah” bagi Oom Pasikom dan Si
Mamat (Kampung Boy) harus rela buka kartu dan berendah hati, bahwa
hal-hal yang berkaitan dengan sistematika berpikir, proses kreatif dalam
berkarya, metodologi kerja dan motivasi pilihan profesi, tetap perlu
mengkaitkannya dengan tatanan
social dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat. Wajarlah bila dalam
berkarya mereka harus mengkalkulasi itu semua supaya karya dan pesannya
dapat efektif sampai ke sasaran yang dituju. Artinya, bahwa kartun yang
berhasil itu indikasinya adalah dapat membuat senang si pembuat, yang
membaca/menonton dan pihak yang dijadikan obyek dalam karikatur/kartun.
Dengan kata lain, untuk sampai pada situasi itu, mereka perlu
menempatkan strategi self censorship sedini mungkin. Setidaknya sikap itu yang diperlihatkan GM Sudarta dan Lat tanpa tedheng aling-aling. Tanpa perlu merasa kurang heroik. Toh bila seorang kartunis berhasil menyampaikan early warning,
pesan atau peringatan awal atas suatu masalah atau persoalan,
sebenarnya, itu sudah lebih dari cukup. Bahkan, GM Sudarta mengutip
salah seorang “suhu” institusi pendidikan tinggi kartun di Jepang yang
berkata, bila sebuah kartun sudah mampu berbisik kepada pembacanya, itu
sesungguhnya, sudah tergolong berhasil.
Begitulah.
Pertanyaannya lagi, wajarkah bila kita menuntut peran kartunis terlalu
besar dan berlebihan, misalnya berharap mereka menjadi ujung tombak
demokrasi, agen perubahan atau revolusi, lalu apa peran anggota DPR yang terhormat dan bergaji besar itu?
0 comments:
Post a Comment