Memilih Hidup sebagai Kartunis
Perjalanan
Menuju Dunia di Balik Cakrawala
GM Sudarta
Rabu Kliwon. Hari itu,
malam takbiran menjelang Lebaran, 20 September 1945 dini hari, saya hadir di dunia. Konon, menurut cerita ibu,
tamu yang berdatangan menjenguk kelahiran saya adalah barisan makhluk
halus seperti genderuwo, pocong, dan glundhung pringis. Tamu-tamu istimewa yang tidak diundang itu membuat ibu pingsan.
Entah benar entah tidak cerita itu, yang pasti sampai sekarang saya
tidak pernah menjumpai makhluk seperti itu.
Anak yang lahir pads
hari Rabu Kliwon, seperti saya, menurut ayah, berdasarkan hitunghitungan pawukon, nantinya kalau dewasa
akan menjadi pendhito. Bukan pendeta, melainkan pendhito dalam
bahasa Jawa, misalnya seperti Pendhito Durno.
Tempat tinggal kami tidak begitu jauh dengan rel
kereta api. Di mass kecil, saya senang melihat kereta lewat dan sering main di rel.
Bila melihat rel kereta api yang memanjang dan kemudian hilang di cakrawala,
selalu saya bayangkan bahwa di balik cakrawala itu ada dunia lain. Dan, karena itu, saya sejak kecil berkeinginan untuk
melihat dunia di balik cakrawala itu. Itulah impian mass kecil saya,
sehingga saya kepingin sekali menjadi masinis kereta api.
Dengan menjadi masinis, saya bisa menikmati
perjalanan jauh dan pergi ke dunia di balik cakrawala.
Saya
masih ingat, saat Agresi Militer Belanda II yang sering disebut Clash II, tahun
1948, situasi begitu memprihatinkan. Zaman itu adalah zaman
"malaise" bagi rakyat. Oleh karena Kota Klaten, tempat keluarga kami tinggal, diduduki tentara Belanda yang
masuk kembali ke Indonesia ndompleng Sekutu, kami sekeluarga terpaksa
mengungsi ke Desa Bayat, sebuah desa pegunungan yang terletak
di sebelah selatan Klaten.
Diiringi dentuman mortir dan rentetan ledakan
peluru, kami mengungsi lewat pinggiran desa. Ibu berjalan kaki dan saya naik sepeda rods tiga yang ditarik ibu dengan
menggunakan selendang. Di pengungsian, saya sering melihat lewat lubang
pintu para pejuang, bergerilya melintasi
depan rumah. Pengalaman itulah yang
antara lain mempengaruhi perkembangan imajinasi saya, yang kemudian saya
wujudkan dalam gambar.
Setelah
perang usai, kami sekeluarga kembali ke rumah di Klaten. Meski sudah kembali ke
Klaten, tetapi kondisi sosial ekonomi belum pulih. Waktu itu, tidak jarang kami
hanya bisa makan jagung, nasi aking atau tiwul. Tidak jarang pula kami makan
nasi jagung yang keras, sehingga membuat saya sering menangis karena rahang
kesakitan saat mengunyah nasi jagung yang keras itu. Untuk melupakan perut yang
kosong, kelaparan, saya suka mencorat-coret tembok rumah dengan arang. Saya
berusaha menggambar orang yang tengah berperang dan menggambar kereta api yang
penuh penumpang. Kalau tembok sudah penuh dengan coretan gambar saya, yang
menjadi tempat pelampiasan saya adalah jalan aspal. Saya menggambar dengan
menggunakan kapur tulis.
Melihat hal itu, ayah membuat papan tulis dari bekas
jendela yang sudah rusak.
Papan tulis itu diletakkan di teras rumah. Jadilah saya menggambar apa saja di
papan tulis itu. Saya menggambar bintangbintang film yang saya tonton di
bioskop (Ayah bersahabat dengan seorang pemilik bioskop. la suka iseng ikut
menjaga pintu bioskop, sehingga meski masih di bawah umur, saya bisa nonton
bioskop apa saja. Misalnya, Tarzan, Batman,
Superman, hingga film "Niagara" yang dibintangi oleh Marilyn Monroe). Bintang-bintang film itulah yang saya gambar di papan tulis, termasuk Marilyn
Monroe. Gambar-gambar saya itu banyak menarik perhatian orang, termasuk anak-anak sekolah yang sewaktu pulang sekolah lewat
di depan rumah saya. Itulah, pameran lukisan saya yang pertama!!!
"Pinaringan"
Memang luar
biasa, ayah yang kejawen dan boleh disebut "wong kuno", sangat
mendukung kegemaran saya. menggambar. Sementara, ada anggota keluarga yang
menganggap bahwa pekerjaan gambar-menggambar itu tidak akan menjamin mass depan.
"Kamu itu, pinaringan," kata ayah, "yang artinya diberkati
Tuhan. Kalau kamu laksanakan
dengan balk, akan bermanfaat dalam hidupmu."
Dan, ini bukan hanya kebetulan. Mungkin, ini yang namanya
"jalan Tuhan". Oleh karena bisa menggambar, pendidikan formal SD, SMP, SMA bisa saya lalui
dengan lancar, meskipun saya tidak pintar dalam berbagai pelajaran kecuali menggambar dan olah raga. Kesadaran akan
pinaringan itu mulai terasa benar saat duduk di bangku SMPN I, pada tahun 1957. Guru kesenian saya, Bapak
Mawaridi (alm) yang mengajar seni musik dan menggambar, setiap bulan
memberi Surat pengantar kepada saya untuk diberikan kepada petugas tata usaha
sekolah. Surat pengantar itu digunakan untuk
mengambil sekotak cat air merek PDK, kuas, dan kertas gambar. Dengan
perlengkapan itu saya diberi tugas membuat lukisan apa saja untuk hiasan
sekolah.
Itulah, pameran lukisan saya yang kedua!!!
Apa yang terjadi saat itu, memberikan kesadaran bagi
saya akan "harga" sebuah gambar. Dengan sebuah gambar pemandangan permintaan guru aIjabar, membuat saya
tidak masalah dengan nilai aljabar, meskipun saya sungguh sangat bodoh
dalam ilmu itu. Waktu itu, saya beranikan diri untuk mengirim gambar ke majalah
berbahasa Jawa, Penyebar Semangat, yang terbit di Surabaya. Kemudian ketika sudah
duduk di bangku SMA, saya membuat komik dengan cerita Perang Aceh di koran Suluh Indonesia, terbitan
Jakarta, dan komik cerita Saijah dan Adinda di Pos Minggu,
Semarang.
Hasil dari kegiatan saya itu, bisa membantu
untuk membayar uang sekolah. Itu sangat bermanfaat karena memang kondisi
perekonomian keluarga saya sangat pas-pasan.
Merasa Menjadi Seniman
Saat
duduk di bangku SMP, saya bergabung dengan APIK (Angkatan Pelukis Indonesia
Klaten), yang dipimpin oleh pelukis Sri
Suharto (alm). Bersama dengan Mas Sujio, pelukis asal Klaten, saya dalam
keseharian setelah pulang sekolah
pergi membawa map berisi kertas buram, berjalan ke mana saja, termasuk ke pasar
untuk membuat sketsa. Saat itu, dada
saya membumbung, serasa sudah seperti seorang seniman. Hasil dari latihan
membuat sketsa mass itu, sangat bermanfaat di kemudian hari. Saya jugs rajin
mengunjungi pelukis nasional asal Klaten, Pak Rustamaji (aim). Waktu itu gays lukisan Pak Rustam banyak
yang hiper-realis, yang ternyata sangat mempengaruhi lukisan saya
mendatang.
Pada tahun 1960-an, dengan maraknya kegiatan LEKRA
(Lembaga Kebudayaan Rakyat) dengan memasang poster-poster berukuran raksasa di
tengah kota untuk kampanye politik, saya merasa tertantang. Saya kemudian menyaingi
mereka dengan membuat poster berukuran raksasa pula yang digunakan untuk pentas
drama teman-teman teater. Saingan saya tidak
langsung waktu itu adalah guru menggambar saya sendiri sewaktu SMA. Meskipun
kami berada di garis yang berlawanan,
tetapi antara guru dan murid, kami tetap sangat bersahabat. Nasihatnya yang
selalu saya ingat dan kenang adalah "Kita harus tidak bosan
menggambar kapan saja, karena semakin lama, semakin tak terasa bahwa skill tangan
akan bertambah terus."
Saya merasa sudah menjadi seniman. Apalagi, ditambah
persahabatan saya dengan seniman-seniman seperti Agus Vrisaba, Deddy Sutomo,
Arifin C Noer muda, dan WS Rendra
muda, lengkaplah sudah dada membusung dengan pongah
sebagai seniman tulen.
Jakarta Memanggil
Pada
tahun 1966, setelah dua tahun di bangku kuliah ASRI (Akademi Seni Rupa
Indonesia) di Jogyakarta, sebuah kesempatan
datang. Bersama teman-teman seangkatan, Pramono (kartunis), A Mathews
(pelukis), Sri Hady (pelukis), saya
diberangkatkan oleh ASRI ke Jakarta untuk bergabung dengan tim perancang
diorama dalam pembangunan Monumen Nasional (Monas). Pembuatan diorama
itu dipimpin oleh pelukis senior, Haryadi S (aim). Inilah perjalanan jauh
pertama keluar dari kota kelahiran yang sangat saya dambakan!
Seiring
dengan jatuhnya Bung Karno, proyek pernbangunan Monas pun terhenti. Beruntung
kami bisa bergabung dengan group Dasa Ika
Karya, 10 seniman di bawah pimpinan pematung nasional Saptoto (aim). Kelompok
itu kemudian diterima untuk merancang Monumen Tujuh Pahlawan Revolusi di
Lubang Buaya.
Di Jakarta inilah saya mengenal dan bergaul dengan
komunitas seniman yang ada di Balai Budaya dan Taman Ismail Marzuki (TIM).
Pergaulan inilah yang membuat saya merasa menjadi pelukis dan aktif berpameran
bersama pelukispelukis Jakarta. Waktu itu, belum ada dalam benak says untuk
menjadi kartunis seperti sekarang ini. Bahkan, untuk biaya hidup di ibu kota,
saya lebih banyak menulis cerpen, puisi, dan naskah drama radio.
Jalan
Tuhan
Pada
akhir tahun 1966, ayah saya tercinta berpulang. Karena dorongan perut, saya
harus bekerja. Suatu hari, saat honor cerpen yang saya terima dari majalah Selecta,
sudah tak ada lagi yang tertinggal di saku, sobat saya Yasso Winarto tiba-tiba
membawa berita bahwa surat kabar Kompas sedang membutuhkan seorang
illustrator. Maka pads akhir Maret 1967, berangkatlah saya ke kantor Kompas di
Pintu Besar Selatan, dengan menempuh perjalanan sejauh sekitar 7
kilometer dari rumah tumpangan saya di kawasan Menteng. Jarak sejauh itu, saya
tempuh dengan cara
"ajaib", yakni jalan kaki!
Di
kantor Kompas, saya langsung dites oleh Bapak PK Oyong (Pemimpin Umum Kompas
pada waktu itu) sendiri, Dengan pulpennya yang bertinta hijau, Pak Oyong meminta
saya agar menggambar di atas kertas gambar lebar, suasana penumpang
pesawat terbang yang panik karena pesawatnya jatuh. Kebetulan waktu itu ada
berita pesawat jatuh di daerah Mapanget, Sulawesi. Tes ini membuat saya
berkeringat dingin, karena selama hidup belum pernah naik pesawat terbang.
Saya
benar-benar hanya membayangkan suasana dalam pesawat terbang. Maka, jadilah
gambar suasana di dalam pesawat terbang: orang panik! Dan, interior dalam pesawat
terbang lebih mirip kereta api kelas ekonomi. Tetapi meskipun
demikian, esoknya saya diterima untuk bekerja, dengan gaji pertama yang sungguh
bagi saya suatu kemewahan
yakni Rp 1.250!
Saya
yakin, inilah jalan Tuhan, mengingat sejak SMP hingga SMA, saya memiliki
pengalaman mengelola majalah Binding
dan majalah sekolah. Dan akhirnya, bekerjalah saya di surat kabar!
Lahirnya
Oom Pasikom
Sebagaimana
berbagai surat kabar lain mempunyai tokoh maskot, misalnya
tokoh Mang Ohle di harian Pikiran Rakyat, maka Kompas pun
berkeinginan serupa. Bersama dengan
salah seorang reclaksi yang sudah senior, Bapak J Adisubrata, saya berdiskusi untuk menciptakan tokoh maskot bagi Kompas.
Beberapa kali dalam diskusi itu, kami menyebut
kata "si kompas", dan akhirnya kami temukan kata "pasikom". Saya ingin, tokoh ini
nantinya adalah seorang tokoh di atas
angin, yang tidak ikut golongan Angkatan 45, atau Angkatan 66. Karena itu, tokohnya
haruslah menjadi cermin orang yang
sudah cukup umur. Jadilah tokoh OOM
PASIKOM, yang gemar berbahasa Belanda, dan lebih senang memakai jas meskipun
tambalan daripada batik. Sedangkan raut wajahnya secara tidak sengaja
saya ambit dari raut muka Pak Adisubrata!
Semula Oom Pasikom, yang mulai
tampil pada bulan April 1967, lebih banyak
sebagai humor belaka, tanpa kritik sosial.
Waktu itu , teknik gambar-menggambar pun masih terbatas yakni menggunakan teknologi "cetak tinggi" dengan
menggunakan klise timah. Oleh karena itu, selain kemampuan menggambar kartun
saya masih terbatas, garis-garis
kartun pun masih sangat sederhana. Percetakan
offset barn ads pads tahun 1972.
Oom Pasikom secara perlahan
berubah menjadi "editorial cartoon". Menjelang Pemilu 1971, Oom
Pasikom tampil di Kompas. la tampil berjalan di bawah curah hujan. Sewaktu, menjilat air hujan, is
berujar air hujan terasa kecap, padahal
musim kampanye belum tiba. Komentar itulah yang membuat marsh golongan partai
terbesar waktu itu.
Hal
itu menyadarkan saya, bahwa saya bisa berbuat sesuatu dengan kartun!
Menjelajah
Mata Angin
Kompas bagi saya bukan hanya nama surat kabar di mana saya menggadaikan
hidup, melainkan jugs sebagai penunjuk mats angin. Hanya dengan
bermodalkan kemampuan gambarmenggambar,
saya berusaha keras untuk membuat kartun walau
dengan susah payah. Kartun harus saya
bust, mengingat kartun adalah pelengkap surat kabar. Banyak yang saya
pelajari dari berbagai arch
dan cumber untuk membuat kartun itu.
Dalam membuat
"editorial cartoon"yang banyak bermuatan komentar dan kritik, persoalan sulit yang saya hadapi adalah bagaimana
menampilkan hat tersebut dalam bentuk gambar dan disampaikan dengan balk.
Itulah persoalan awal saya. Sampai kemudian,
pads tahun 1970-an, saat menyampaikan sebuah kartun yang keras kepada Bapak Jakob
Oetama, Pemimpin Redaksi, saya memperoleh sesuatu pegangan. Saat itu,
Pak Jakob mengatakan
"Tugas pers bukan untuk mengubah pendapat orang lain, bukan untuk
mendobrak atau revolusi, melainkan untuk menyampaikan mini perbaikan."
Ucapan Pak Jakob itulah yang sampai sekarang saya pegang sebagai kredo dalam
membuat kartun.
Mungkin untuk membuat saya agar lebih
berwawasan kesenirupaan, Pak Ojong memerintahkan saya untuk banyak mengunjungi
pameran lukisan dan mulai memilih karya seni yang akan dikoleksi Kompas.
Dan jadilah, mulai tahun 1971, kami berburu lukisan, barang antik,
dan karya seni lainnya. Kegiatan ini membuat saya banyak bergaul dengan berbagai
kalangan seniman dan banyak melakukan perjalanan ke berbagai daerah di negeri
ini. Dengan banyak melakukan
perjalanan ini, sebagian obsesi saya sejak kecil, pergi ke dunia di batik
cakrawala, mulai terlaksana.
Membuat kartun politik, dibutuhkan mampu
membaca tanda-tanda yang terjadi di
masyarakat. Yakni, terutama tanda-tanda
dalam kehidupan politik maupun tindakan atau
ungkapan para pejabat yang kits ambit
maknanya untuk mencari ide dan
komentar dalam bahasa kartun. Dalam ilmu komunikasi yang disebut "semiotika" itu,
mungkin secara tidak sengaja saya peroleh dari perkenalan saya
dengan MAW Brouwer (alm),
kolumnis yang banyak menulis artikel satire
di Kompas. Dalam membuat
ilustrasi untuk artikeinya, saya
hanya menangkap pesannya, kemudian saya membuat kartun yang seakan bukan
ilustrasi melainkan kartun yang berdiri
sendiri dengan makna yang sama.
Karya kartunis-kartunis senior, seperti Sam Suharto dari
surat kabar Indonesia
Raya, Sibarani dari Bintang Timur, banyak mempengaruhi saya dalam cara
menyampaikan kritik lewat metafora dari terra
dengan tajam dan lucu. Goresan garis yang hemat dan efektif karya
kartunis Bandung, seperti T Sutanto, Sanento Yuliman,
dan Haryadi S, yang muncul di Mingguan Mahasiswa edisi Bandung,
pada hari akhir-akhir Orde Lama sampai tahun-tahun
permulaan Orde Baru, juga sangat saya kagumi.
Selain itu, saya juga banyak memperoleh pelajaran dari
karya jurnalistik yang disampaikan oleh wartawan senior Kompas. Misalnya, Threes Nio (almh). Sewaktu saya konsultasi
dengannya menyangkut masalah ekonomi yang akan saya komentari, dia mengatakan bahwa kartunis itu seperti wartawan,
harus tahu banyak meskipun sedikit-sedikit. Selain itu, harus ada pula
kontak personal dengan pembaca dan "pengagum." Hal itu merupakan
bagian yang menclukung semangat,
kreativitas, dan menjadi sumber bursa ide dalam menciptakan kartun yang sarat kritik dan humor.
Menjelajah
mats angin yang sebenarnya, banyak saya peroleh dari Kompas. Dalam
perjalanan kerja atau memenuhi undangan ke
luar negeri, sepertinya saya diizinkan oleh Kompas untuk melampiaskan
obsesi melihat dunia di ujung rel di batik cakrawala, dengan menambah
kunjungan ke negara lain, selain negara tujuan utama.
Perjumpaan
saya dengan para kartunis kenamaan luar negeri, dalam lawatan yang kebanyakan
dalam rangka pameran dan seminar kartun internasional tersebut, semakin
meyakinkan diri bahwa selain bisa menambah wawasan, juga benar-benar merupakan jalan Tuhan .
Jalan yang harus saya tempuh dalam hidup ini, melalui kartun.
Ketidakberdayaan
Menghadapi Kekuasaan
Setelah
era eforia Orde Baru usai, dari kacamata kartun ada banyak pengalaman yang
tidak terduga muncul di hadapan saya yang membuat saya terkesima. Rasa optimisme
yang meluap-luap pads awal Orde Baru menjelma menjadi selain
harapan baru juga persoalan baru dan kekecewaan baru. Tekanan terhadap pers
yang berupa SIT (Surat
Izin Terbit) dan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), yang ujung-ujungnya
pembreidelan, sangat terasa akibatnya
untuk kartun.
Eufimisme,
hati-hati, tidak sarkastis, tidak "to the point", tepo seliro, ngono
yo ngono Hanging ojo ngono adalah "pedoman" saya dalam menyampaikan kritik lewat
kartun. Jangan mengatakan maling kepada maling, melainkan sebut saja
"orang yang mengambil milik orang lain tanpa izin", misalnya. Tetapi,
hal itu bagi saya bukan kendala, melainkan
membuat saya lebih kreatif dalam menyajikan kritik.
Dari pengalaman selama
ini, di mans kadar humor juga menjadi muatan utama kartun, ada cars
menyampaikan kritik lewat kartun
supaya aman dan sejahtera. Yakni, kartun hares membuat senyum. Senyum untuk
yang dikritik, supaya tidak marsh dan mau membaca koran kita. Kalau
tidak bisa membuat senyum, artinya misi tidak sampai. Bahkan, koran
kita bisa tewas, karena dia berkuasa untuk menutup koran. Senyum untuk
masyarakat yang terwakili aspirasinya,
dan senyum untuk kartunisnya karena tidak takut ditangkap! Memang absurd!
Tetapi, ini yang membuat dunia kartun
tetap hidup di negara kita.
Hasilnya? Ada juga,
meskipun peranan kartun lebih merupakan pembuka katup-katup tekanan sosial.
Kekecewaan masyarakat terhadap keadaan, bisa dibikin legs dan terhibur oleh humor
dalam kartun. Tetapi kartun juga lebih
sebagai vermin ketidakberdayaan kita
menghadapi kekuasaan atau penguasa. Bahkan lebih untuk menertawakan nasib diri sendiri. Misalnya, ribuan kali
kita menyampaikan kritik tentang korupsi dan birokrasi, hasilnya tetap saja: banyak korupsi dan bahkan berkembang.
Memang,
kartun hanya untuk menyampaikan misi perbaikan. Masalah ada perbaikan atau
tidak, bukan tanggung jawab
kartunis. Kartun hanya sebagai anjing yang menggonggong kalau ada sesuatu yang
tidak beres, kata. Oliphant, kartunis kenamaan dari Amerika Serikat. Dengan
kartun, kits hanya berteriak dalam bisikan, yang mengutarakan bahwa
kita belum terlambat untuk memperbaiki, kata Prof Yasuo Yoshitomo, kartunis
senior dan guru besar Departemen
Kartun, Universitas Seika, Kyoto, Jepang.
Dan
kalau kits amati, sejak Orde Lama, Orde Baru sampai Orde Reformasi, adalah
sebuah kenyataan sikap para pemimpin bangsa seperti siklus, yang selalu berulang.
Setiap kali sampai ke puncak kekuasaan, sepertinya mereka enggan menerima kritik pers.
Dalam
menghadapi kritikan pers, Presiden Soekarno mempunyai senjata yakni batik
melemparkan tuduhan kontrarevolusi,
antek imperialis atau Manikebu. Presiden Soeharto menggunakan SIT, SIUPP, dan
ancaman breidel. Kepada para
pengritik, is memiliki ucapan yang sangat terkenal, "merasa bisa, tapi
tidak bisa merasa." Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, menuduh pers suka
memelintir berita. Presiden Megawati Soekarnoputri, merasa
dipojokkan oleh pers. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengimbau pers jangan
suka memperolok bangsa.
Sedangkan Presiden Habibie, meski hanya beberapa bukan memangku jabatan sebagai
presiders, lebih suka bagi-bagi
bintang jasa kepada rekan-rekannya, bahkan juga kepada orang
"terdekatnya."
Jadi, bukankah hal ini juga mencerminkan kits bahwa
kita sebetulnya hanyalah sebagai Don Quishote yang melawan kincir angin?
Menuju
Cakrawala
Kartun memang tak lepas
dari topik hangat yang sedang terjadi, sehingga bisa clikatakan kartun adalah
sejarah dan cermin zamannya. Ide metafora terhadap terra dalam bentuk gambar,
setelah dikemas humor, jadilah kartun.
Bahkan kadar muatan humor-lah yang
paling dominan. Sementara hingga kini, kartun tetap menjadi salah satu menu
utama media massa. Sepertinya, memang, "humor akan membuat bumf terus
berputar." Dan, kehidupan kartun akan terus berkembang, sejalan dengan
berkembangnya kedewasaan kita untuk menerima kritik dan menertawakan diri sendiri. Begitu pula
kehidupan profesi kartunis.
Selama
ini, telah 40 tahun saya menggadaikan hidup pads kartun. Perjalanan hidup
sebagai kartunis ini, semua karena
pinaringan bakat gambar-menggambar. Selain itu, ditambah lingkungan tempat
bekerja saya yang sangat mendukung, dan
kesempatan baik yang datang.
Keadaan
dan situasi seperti itu, membuat banyak penghargaan singgah, baik dari dalam
maupun luar negeri. Penerbitan
buku ini juga merupakan penghargaan tersendiri bagi saya.
Sementara prang mengatakan
bahwa sebuah penghargaan adalah menanclakan puncak pencapaian, tetapi sebenarnyalah, penghargaan adalah sebuah
tanggung jawab untuk masa mendatang. Penghargaan bukan puncak, melainkan jalan lebih menanjak, yang harus
kita tempuh dengan menitinya lebih hati-hati, supaya tidak
"tergelincir."
Dan,
perjalanan hidup dalam kartun, yang harus saya tempuh ini, masih sangatlah
jauh. Karena masih ada perjalanan lain yang
harus saya tempuh yakni, perjalanan menuju dunia lain di balik cakrawala!
Source:
Dikutip dari
sebagian buku “40 tahun Oom Pasikom” – Peristiwa dalam Kartun Tahun
1967-2007 oleh GM Sudarta; atas saran GM Sudarta sendiri.
0 comments:
Post a Comment