Lawak Indonesia Mau ke Mana?
Oleh Darminto M Sudarmo
OVJ di Trans 7 |
Situasi yang ada dalam benak sangat berbeda atmosfernya bila dibandingkan dengan ketika saya (di waktu lalu) menyaksikan sandiwara komedi “Si Doel Anak Sekolahan” dan “Bajaj Bajuri” misalnya. Di kedua acara TV tersebut, kita mudah dibawa hanyut dalam cerita yang mengasyikkan bersama humor-humor segarnya yang menyelinap di sana sini. Tidak sampai di situ, kita bahkan kadang merasa terlibat ke dalam dinamika cerita yang begitu segar dan mengalir lancar.
Kedua situasi yang berkebalikan sebagaimana dicontohkan di atas, bukannya tak mungkin mewakili banyak hal terkait dengan acara TV yang bergenre humor dan belakangan ini banyak menuai protes dari masyarakat. Salah satu protes yang cukup “menohok” dapat kita lihat di bawah ini. Pada Selasa, 26 Mei 2009, Effendi Sutanja, seorang pembaca yang mungkin saja mewakili sekian banyak masyarkat kita, menulis surat pembaca di Kompas dengan judul “Pelecehan Dasar Negara Lewat Tayangan Lawak”. Intinya Sdr Effendi ini kecewa berat menyaksikan tayangan/acara humor di stasiun TV swasta Jakarta (JakTV).
Ia
kecewa karena menyaksikan Pancasila dan agama dilecehkan secara banal.
Ini mungkin persoalan persepsi, tetapi mungkin dapat menjadi bahan
perbincangan kita bersama dalam sesi tersendiri; belum tentu persepsi
dan tuduhannya itu logis; bagaimanapun seni humor juga memiliki kode
etik dan kekebalan semacam lisensia puitika di seni puisi.
Sebagian
kekebalan yang lazim dipahami para praktisi humor antara lain: humor
boleh tidak ada urusannya dengan pembuktian (akurasi), boleh “masa
bodoh” dengan istilah benar dan salah (urusannya adalah: lucu tidak
lucu), boleh menyindir seseorang atau situasi ke alam analogi atau
metafora (Republik BBM, Democrazy, Republik Mimpi, dan lain-lain); dan
sebaliknya, secara etika seharusnya tidak “boleh” meledek atau menghina
CACAT FISIK seseorang karena bagian itu merupakan anugerah Tuhan dan
setiap orang tidak dapat memilih untuk memiliki bentuk fisik yang
sempurna atau menurut keinginan tiap individu. Dengan kata lain, meledek
atau menghina cacat fisik dapat diartikan sebagai “menghina” anugerah
Tuhan.
Tetapi,
paradoks yang kemudian terjadi adalah: sungguh berbahaya jika humor
harus dibayang-bayangi istilah-istilah seram seperti: tidak boleh,
dilarang, jangan, tabu, kurang ajar, dan sebagainya…..secara psikologis,
kata-kata itu sangat telak akibatnya: mematahkan daya kreasi dan
kreativitas sang praktisi. Pilihan yang coba ditawarkan ini mungkin akan
memompa lagi semangat berkreasi kita: tidak ada yang tidak boleh dalam
berhumor; segawat atau serumit apapun tema yang dipilih – seharusnya –
semua boleh-boleh saja, namun ada syaratnya; yaitu soal tanggung jawab
estetika (urusannya dengan bagus tidak bagus, sembodo tidak sembodo,
elegan tidak elegan, dewasa tidak dewasa, ya…estetik tidak estetik-lah)
dan dalam semua cabang seni apapun, bila sang kreator tidak mampu
menyuguhkan estetika yang sembodo, tetap saja akan membuat penikmat
jengah dan kadang marah-marah.
Ada
dugaan, seperti itulah suasana hati yang dirasakan Sdr Effendi saat
menyaksikan pertunjukan acara humor itu (saya sendiri belum menonton
acara itu). Sudah temanya gawat (padahal dengan tema Pancasila dan
agama, maunya si kreator sih bikin sensasi supaya menarik perhatian),
idenya lemah (karena dangkal dan asal dianeh-anehin: misalnya berdoa
dengan mendengkur….), estetikanya pun payah; bagaimana orang tidak
mencak-mencak dan mau marah?
Hal-hal
lain yang menjadi ganjalan kreativitas adalah sistem nilai yang berlaku
secara berbeda di tiap suku dan suku bangsa. Apalagi, di Indonesia.
Tiap kreator harus pandai-pandai membawa diri. Kasus yang ambigu juga
dan berbuntut polemik yang rada “menggelikan” karena adanya silang arus
interest adalah yang menimpa Butet Kartaredjasa setelah membawakan
monolog Deklarasi Pemilu Damai 2009 pada Rabu Malam, 10 Juni 2009.
Seperti pengakuannya sendiri, ia mendapat banyak pujian, sekaligus
cacian karena materi monolognya itu membuat tidak berkenan salah satu
peserta Pemilu Damai, yang sebelumnya pernah nanggap Butet dengan tema
yang berbeda. Kalau suami istri mungkin saja layak jika sang istri
uring-uringan melihat suaminya bergandeng tangan dengan wanita lain,
tetapi hubungan antara si penanggap dan yang ditanggap (dalam konteks
profesional) tentu tidak seposesif itu, kan?
Untunglah,
di lain hal, ada juga semacam “atmosfer” yang agak membangkitkan
semangat dan pencerahan setelah membaca tulisan Indra Tranggono di
harian Kompas, 20 Juni 2009, yang berjudul “Negeri yang Suka
Tertawa”. Saya kutipkan bagian yang mungkin inspiratif buat kita semua,
“Maka ketika politik macet dan hanya menjadi jagat ‘jual-beli’
kekuasaan, seni lawak perlu tampil dengan semangat dasarnya yang kritis,
cerdas, visioner dan elegan. Seni lawak mampu menjadi medium yang akan
mengembalikan publik pada esensi kemanusiaannya. Pada pemulihan
manusia…..dst.”
Sedikit hal yang agak mengganggu dalam tulisan itu, misalnya menyebut pelawak sebagai joker. Sejauh yang saya tahu, kata joker,
lebih banyak dipahami sebagai si “biangkerok”. Seperti sepak terjang
Batman dalam menumpas kejahatan selalu diganggu oleh si gila Joker. Kata
comedian mungkin lebih pas untuk pelawak dan clown untuk badut.
Quo vadis seni lawak Indonesia? Seperti apa bentuk “peta”-nya saat ini? Pertanyaan ini sungguh tidak mudah menjawabnya. Setebal apapun saya memakai kaca mata, saya tetap tak mampu melihat tampilan peta lawak Indonesia dengan jernih. Gambarnya kabur, buram dan kadang kosong sama sekali. Namun bila kita mencoba melihat lawak Indonesia dalam konteks industri (budaya/kreatif), lagi-lagi perspektifnya bergerak menuju Jakarta. Jujur saja, di kota ini peta lawak berbasis industri itu terlihat agak terang. Mungkin di kota-kota lain (daerah) ada tanda-tanda munculnya pelawak tunggal atau grup CC (coba-coba), tetapi itu tak sesemarak atau seheboh munculnya grup band IB (indie banget). Mengapa bisa begitu? Ya, karena main band relatif tidak sesulit main lawak (dalam konteks CC dan IB tadi). Bahkan seorang pengamat humor Amerika bilang, “Mati itu gampang sekali, tapi melawak sulitnya minta ampun, meck!”
Untuk sekadar kasus, penjaringan pelawak berbakat seluruh Indonesia lewat penyelenggaraan Audisi Pelawak Indonesia (API) oleh TPI (yang hingga tiga gelombang, bila tak salah ingat), tetapi kecenderungan mutu out-put-nya terus-menerus menurun, maka jelas tidak menutup kemungkinan bahwa daerah pun banyak yang dilanda kegersangan bakat. Kalau Miing Bagito bilang, dalam 10 tahun bisa saja lahir 100 doktor berkualitas, tetapi untuk pelawak berkualitas paling cepat hanya satu atau dua orang.
Asumsi Miing itu nyaris pararel dengan fakta yang terjadi pada acara penjaringan bakat bila dibandingkan antara menyanyi dan melawak. Yang menyanyi tetap saja berlangsung mulus hingga sekarang, sementara yang melawak justru di-stop karena degradasi mutu yang terjadi cukup ekstrim. Syafrizal dari TPI yang diserahi tugas sebagai kepala sekolah di kamp karantina para pelawak yang masuk seleksi 15-20 besar di Cibubur, pernah terlihat sangat bersemangat ketika mengetahui SDM calon juara di API Pertama. Ia bahkan berkeinginan mengajukan proposal ke atasan untuk mengubah kamp karantina menjadi sekolah lawak resmi yang dilengkapi kurikulum, silabus dan pengajar yang kompetens; namun melihat perkembangan di tahun-tahun berikutnya yang mutu SDM-nya semakin merosot, ia tak pernah menyinggung-nyinggung lagi impiannya itu.
Bagi saya pribadi, kasus ini tidak aneh. Bagaimana mau memanen kalau kita tidak pernah menanam? Dugaan kasar saja, di tiap kota, taruhlah setingkat kabupaten atau kota, bukan tak mungkin di sana ada sekolah yang mengajarkan seni suara dan seni musik; juga bukan tak mungkin ada guru les privat yang mengajar seni vokal? Pertanyaannya, adakah sekolah yang mengajarkan seni lawak? Adakah guru privat yang mengajar seni melawak? Bagaimana mungkin kita berharap dengan sekonyong-konyong daerah memiliki calon-calon pelawak berbakat? Secara bergurau, orang-orang akan serta merta bilang, “Mimpi ‘kali, ye?”
Salah satu pilihan yang mungkin masuk akal dan terukur, bila kita memulai dari sekarang menyemai bibit yang baik, menanam dan kelak memanen hasil: calon-calon pelawak berbakat. Kandidat-kandidat semacam itu tidak dapat dipecayakan dan diserahkan semata-mata kepada kelompok-kelompok lawak yang kadang ada di tiap-tiap kota. Mereka mungkin hanya sibuk di ranah sosialisasi; tetapi nyaris tak pernah peduli pada penyelenggaraan pembelajaran dan pembekalan profesional dalam arti seluas-luasnya.
Sisi lain yang penting diagedankan adalah mengubah pola pikir. Selama ini para pelawak senior selalu menciptakan mitos bahwa melawak tak dapat diajarkan atau dipelajari. Pelawak hanya muncul karena bakat. Maka semua kita termakan oleh mitos tersebut. Pada tataran teknik tampil, blocking, jeda, dan artikulasi vokal, bukankah di ilmu teater atau ilmu akting pada umumnya sudah ada, pelawak yang mau ngintip sedikit ke sana akan mendapatkan manfaat yang tidak sedikit. Yang membedakan secara prinsip antara lawak dan teater adalah teknik improvisasi. Di lawak sangat dianjurkan untuk mahir berimprovisasi asal menghasilkan ger yang membangun suasana; sementara di teater, dibolehkan pada situasi yang sangat stag atau darurat itupun hanya untuk jembatan sementara menuju alur naskah yang sudah disepakati dalam latihan yang panjang.
Selain persoalan teknik dan improvisasi di atas, akan menjadi bernilai lebih pula bila si pelawak juga punya keahlian khusus lain; misalnya: menyanyi, memainkan alat musik, bermain sulap, melakukan atraksi-atraksi sensasional tertentu, melafazkan logat berbagai bahasa suku atau bangsa yang popular dan akrab di telinga masyarakat.
Ada anggapan pula, bahwa melawak itu tidak memerlukan skenario. Mungkin benar, tetapi tidak demikian pengertiannya. Sebelum tampil setiap pelawak atau grup lawak tetap membutuhkan konsep. Konsep ini dapat berupa sinopsis (ringkasan cerita), dapat pula berupa story line (atau disebut juga treatment). Dalam story line kadang ada sepenggal dua penggal dialog; bagian ini pun tidak mengikat pelawak untuk membawakan dialog secara persis apa yang tertulis; pelawak dapat menyerap isi dialog dan ia dapat membawakan dengan “bahasa”-nya. Bahasa miliknya.
Ada
pula anggapan bahwa improvisasi itu soal nanti saja yang terjadi di
atas panggung. Salah besar! Improvisasi yang bernilai tidak datang
tiba-tiba; ia memerlukan persiapan yang matang. Persiapannya adalah
banyak membaca, menonton, menyerap situasi, mengkritisi berbagai
persoalan yang miring dan kurang beres. Bernilai tidaknya improvisasi
seorang pelawak ketahuan dari wawasan intrinsiknya. Kelihatannya sih,
refleks saja, tetapi sesungguhnya pelawak yang improvisasinya bagus, dia
selalu siap konsep di dalam kepalanya. Gampangnya ngomong, kalau
saldonya di tabungan minim, jangan mimpi bisa narik duit di ATM dalam
jumlah besar.
Untuk keperluan take
(pengambilan gambar), di beberapa stasiun TV Indonesia pada umumnya ,
seorang sutradara biasanya sudah memegang sesuatu yang disebut FOD (Flow of Directions) berupa breakdown cerita dan arus masuk-keluar pemain: ke/dari panggung (in-out frame). FOD itulah yang digunakan untuk mentaklimat (mem-brief) para pelawak dan bintang tamu (tunggal/grup/maupun galatama) selama tak lebih dari 15 menit.
Bayangkan,
seperti yang pernah saya tulis dengan judul “Lima Belas Menit,
Keajaiban Seni Lawak”, pelawak atau bintang tamu yang tak tahu ba-bu-nya
cerita, begitu datang langsung di-make-up; usai make up langsung di-brief; usai briefing langsung main di stage (panggung tempat shooting diselengarakan). Semua mengalir seperti air terjun. Tidak ada latihan, tidak ada kesempatan sharing ide. Dan uniknya, shooting berjalan lancar, stock shot pun kemudian siap di tangan petugas post pro; nyaris jarang atau bahkan hampir tidak pernah ada pengulangan take. Bayangkan pula, bagaimana proses produksi yang terjadi di teater, berapa lama diperlukan untuk reading, blocking dan lain-lain hingga ke titik di mana setiap pemain siap pentas di atas panggung?
Proses selanjutnya stock shot itu masuk ruang post pro untuk diedit, diisi music, diberi grafis (tulisan), di-mix (gabung) dengan iklan (commercial break)
dan lain-lain; tiga atau lima hari kemudian langsung bisa tayang.
Betapa paket-paket yang pola penggarapannya bernuansa industrial ini
sangat berkejaran dengan waktu. Anda belum membayangkan kesibukan di
studio kaitannya dengan pembangunan set (yang harus knock down),
tata lampu, kamera dan yang tak kalah hebohnya soal kostum. Kalau
kebetulan temanya zaman-zaman kerajaan atau zaman yang akan datang serba
futuristik, kehebohan di bagian wardrobe (kostum) tak kalah dengan persiapan kreatif dan crew pengambilan gambar.
***
Menurut
rujukan yang ada, faktor-faktor yang terdapat dalam sebuah pertunjukan
lawak bermutu umumnya memenuhi standar: kebaruan tema/ide, lelucon yang
sehat, kritik sosial lewat kecerdasan daya ungkap, nilai pendidikan,
potensi yang mampu mengeliminasi agresivitas berlebihan dan dapat
menjadi media katarsis bagi masyarakat.
Penampilan Quartet S dari Malang di TVRI
pada tahun 1980-an awal atau Srimulat pada tahun yang sama; khususnya
saat almarhum Gepeng masih bergabung, dapat menjadi rujukan yang
inspiratif, betapa pertunjukan mereka sangat genuine dan menarik sekali sebagai tontonan.
Note:
Tulisan ini adalah materi yang dibawakan penulis dalam "Kuliah Umum" lawak yang diselenggarakan oleh Jojon Center bekerja sama dengan Yayasan Umar Kayam dll, bertempat di Padepokan Bagong Kussudiardja, Yogyakarta, 27 Juni 2009.
0 comments:
Post a Comment